Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masa Lalu yang Memikul Masa Depan

24 Mei 2020   17:46 Diperbarui: 25 Mei 2020   15:46 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Seandainya kita bertemu lebih silam.."

"Kamu menyesalinya?"

"Tidak itu maksudku"

"Adakah kau berpikir masa lalu mulai merisaukan?"

"Bukan pula itu, sayang"

"Lalu?"

"Sebaliknya, aku menyukai masa lalu mu. Bahkan aku merasa mulai memilikinya"

"Jika kau pikir itu baik, sayang"

"Sebab aku merasa tak pernah memiliki masa lalu"

"Kamu eksentrik"

"Aku selalu hanya berfikir memiliki masa depan"

"Oh!"

"Sejak mengawini kamu, masa silam mu melengkapi masa depanku"

"Kamu agak aneh"

Ranjai suamiku menyeringai, dan itu manis. Selalu demikian. Kami menikah jalan empat tahun. Dan aku janda yang membawa dua anak yang menginjak remaja, sedang dia lajang yang ku pikir terlambat menikah.  Usia kami tak banyak berbeda, malah Ranjai kelihatan lebih matang. 

Dia lelaki yang kalem dan terkendali, maklum profesinya adalah seorang dokter spesialis jantung. Aku menikmati Ranjai kerna dia 'smart' dan tersistem namun tidak menggurui. Agak berbeda dengan temperamenku. 

Aku cenderung melankoli, dan aku sendiri menghayati diriku sendiri dalam skala positif, mengingat pekerjaanku sebagai pengajar sastra yang berurusan dengan imajinasi. 

So, aku dan Ranjai sejauh ini, merupa lebih kepada sepasang mitra yang terus saling jatuh cinta. Sehingga kami saling menjungjung tinggi akan rasa saling menghargai dan apresiasi. Jadi itulah pokok yang ku putuskan ketika menerima lamaran dokter Ranjai, disamping parasnya yang tampan. 

Kami sendiri, terlalu sepi untuk bertengkar atau argumen, jika muncul itu hanya merupa diskusi yang baik, andaipun jika memburuk, kedua mata kami akan saling bertemu untuk menyudahi, kerna Ranjai memiliki tatap mata cinta yang lebih teduh. Namun jangan persoalan mengenai martabat profesi, aku tak pernah melawan Ranjai. 

Dia memiliki harkat demikian tinggi untuk suatu harga diri  dari kecakapan seorang dokter ahli jantung. Barangkali ini adalah juga cermin dari rasa tanggung jawab kerjanya. Dan aku membela untuk berada disisinya dalam hal ini.

Ranjai terkadang eksentrik atau kupikir mungkin dari satu sisi kelainan akan kepandaian otaknya, yaitu soal konsep masa yang kerap melingkupinya. 

Dia selalu merasa kehilangan masa lalu, mungkin ini yang membuatnya lapuk menikah. Sehingga dia tampak memuja diriku, kerna ikut merasa memiliki masa lalu ku yang berriwayat seorang 'single mom', yang bisa melengkapi masa depannya. 

Entahlah.  Barangkali betul seperti yang pernah disinggung neneknya padaku satu ketika, bahwa Ranjai begitu terpukul menerima kenyataan ayahnya yang diidolakan, wafat di saat karir ayahnya moncer yang juga sebagai dokter ahli terpandang. Barangkali Ranjai merasa disorientasi, kehilangan masa lalu semenjak itu, lanjut cerita sang nenek. 

Ranjai sendiri selalu bungkam setiap ada cerita atau pembicaraan yang berkenaan soal ayahnya. Sedang diriku sendiri tak pernah mempermasalahkan.  Begitu pula halnya, ibu Ranjai yang biasa ku panggil Marta, beliau tak pernah sekejap pun menyinggung soal ayah Ranjai. 

Yang kutangkap selama ini bahwa Marta begitu dominan mengurusi Ranjai anak lelakinya itu. Ku kadang terganggu dengan rutin kedatangannya ke rumah kami saban minggu, untuk entah mencucikan baju atau membawakan makanan jus sayur dan kari kesukaan Ranjai yang dimasaknya sendiri. 

Namun seterusnya kerna begitu biasa, sampai hal itu tak lagi mengusikku. Dan kehidupan keluarga ku berjalan demikian adanya, meski sangat berbeda dengan 'style' kehidupan famili bersama dengan eks suami dulu, yang terasa lebih independen.  Namun aku, juga kedua belia ku, tak menemui problem adaptasi, walau mulai tercetak patron keluarga Ranjai tampak membingkai dalam kehidupan rumah kami.

Hingga di suatu sudut sore yang buram kerna musim hujan mulai membumi, Ranjai pulang lebih awal dari rumah sakitnya tak sebagaimana lazim. Kupandang  pasi wajahnya, yang mana ketampananya nampak mulai bergaris tua, sehingga bertambah begitu kentara. Yang mengusikku adalah kepantangan bagi Ran, untuk pulang  ke rumah sebelum lonceng malam berdetak yang kali ini dilanggarnya, dan ini tidak biasanya yang membikin ku ciut.

"Akhirnya kepastian ini datang, Hara.." Ranjai membujur ke dalam sofa sambil menelungkupkan tangan ke wajahnya.

"Please Ran, ceritalah" kataku yang mulai terbawa resah. Ranjai tak menjawab dan tak memalingkan sama sekali parasnya. Hanya perlahan tangannya yang biasanya halus dan professional kulihat pertama kali bergetar, mengulurkan 'print out' analisis. Dan ketika hampir habis hurufnya kubaca, aku merasakan seperti lapisan kaca buram di lapis mataku sehingga tak terselesaikan. Lalu meraih kepalanya kedalam dekap harumku.

"Oke.. oke..kita tenang, kamu akan berobat Ran..."

"No, Hara. No. ini 'cancer' di pankreas. Tak pernah ada obatnya selama ini"

"Ranjai.. kamu akan bisa melaluinya.. bersama aku.." aku menambah erat dekapan kerna mulai merasa lelehan hangat di pipiku.

" Tidak, sayang. Kamu tahu Hara, selama ini tak pernah satupun penyintas kanker pankreas  yang berhasil melaluinya.." Ranjai melepas peluk ku sambil menatap beranda jauh lewat jendela besar ruang tamu.

"Kamu harus katakan kamu akan melawannya. Aku mohon demi aku dan anak anak.." aku mulai mengisak.

"Aku ini dokter dan aku amat mengerti.  Tak pernah ada obatnya. Terapi atau berdiam keduanya sama menuju kematian.."

"Ran, kamu tidak boleh menyerah" aku masih memotong memberinya spirit.

"Hara sayang, biarkan aku memilih berdiam untuk membiarkan kanker ini, hingga tiba pada ujungnya" dia merengkuh tanganku rapat. Lama kami membiarkan senja turun jelas di depan mata kami, dan petang yang terlihat, memakan mentari yang terbenam di balik kaca ruang depan beranda.

"Dan aku mohon satu hal sayang. Kamu tak perlu memberitahu siapapun mengenai hal ini" Ran seperti mengakhiri keputusannya.

"Marta..??"

"Tidak juga ibuku.." Ranjai menggeleng menatapku tajam seperti membaca pikiranku.

Dan lalu inilah menjadi senja yang paling sublim di destini kehidupan perkawinanku di babak yang kedua, begitulah yang rupanya akan ku selami ke depan. Namun masih ada setitik jalan usaha membujuk Ranjai untuk mau menjalankan terapi, yaitu melalui Marta, ibundanya yang sangat mengasihi, meskipun dia melarangnya.

Hingga pagi mulai menjelang dan Ranjai telah beranjak praktek, demikian pula adanya kebetulan jadual pagi Marta mengunjungi rumah kami dan aku berhadapan memandang wajah Ranjai di dalam paras Marta. Sementara Marta dengan gaya khasnya, berfokus pada kerja masakan saji sang putera, terlihat cekatan mengiris bawang bombai.

"Marta.." aku mendekatinya, namun dia tak berpaling.

"Marta berpalinglah.." lalu Marta berpaling.

"Marta ini serius. Ini soal Ranjai. Dia sakit..", sementara Marta hanya diam menatap mataku.

"Dia menderita kanker dan dia bersikeras tak hendak terapi,  aku.. aku mau kau membujuknya untuk berobat.." Wajah Marta terlihat tak berubah, namun aku seperti terhentak surprise mendapati sinar matanya yang tampak dingin.

"Aku memohon kepadamu Marta, demi aku, berbicaralah dengannya, kau ibunya, pasti kau bisa untuk membujuknya ..aku mohon.." lanjutku menghiba. Namun Marta terlihat bergeming, tubuhnya yang mematung dan sinar matanya bertambah tajam mengarah padaku. Lama ku menanti reaksi jawab permohonanku sampai akhirnya dia berucap.

"Dia sudah memilihnya, Hara. Dan kamu sudah tak berhak lagi mengganggu kehormatan kami" Marta berucap bergetar, sama dengan bergetarnya tubuhku yang begitu tiba tiba.

"Apa pula maksud ini, Marta?" tanyaku meninggi.

"Dengarlah Hara! Ranjai telah memilih martabat kami. Sama seperti yang telah di lakukan ayah dan kakeknya" begitu ucap tegas Marta yang kini kudengar seperti mantra.

Dan aku hanya bisa duduk terdiam beku, memikirkan masa silam yang telah kuberikan  dan membahagiakan Ranjai untuk memikul masa depannya, yang kini akan melemparkan ku kembali kedalam masa silamku yang kedua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun