Pagi ini BinLi menutup studio fotonya,  dia berencana membesuk papahnya yang sedang opname di rumah sakit jantung tengah kota. Memang pasca operasi arteri yang dilakukan semalam, kondisi CongLi, papahnya itu, sedikit mengkuatirkan. Terbujur kaku seperti mayat hidup semalaman, tapi masih bernafas dan berdenyut seiring monitor kardio. BinLi, satu satunya putra pewaris studio foto, bergegas menginjak pedal gas SUV nya, kencang nian, meliuk di aspal rabun yang tertimpa mendung. Tiba di gerbang kaca hospital harapan jantung, BinLi merangsek.  Separuh berlari menggapai pintu sunyi ruang isolasi, berharap siuman namun cuman tetap sang  tua masih terkapar beku dengan selang kesana kemari.
"It's okay BinLi. Dia belum siuman saja" asisten tua papahnya yang menjaga merangkulnya. "Sedari malam, uncle..?" BinLi menanyakan lebih kedalam dirinya. Â Selebihnya dia lebih melekat ke pembaringan papahnya, menatap wajah tua fotokopi wajahnya. Yang bergaris keras sekeras dirinya. CongLi itu BinLi dan BinLi itu CongLi, si kembar kepala batu. Begitu tolan sepakat mejuluki.Dan saat ini satu dari kembar ini terkapar. Sirna seakan segala keras hati, seperti yang dirasakan BinLi kali ini. Dia hanya melihat papah demikian lunglai membuat hatinyapun mencair seperti margarin. Beda amat disaat normal, bapak beranak ini hampir saban hari berperang cakap, bahkan tak lengkap dengan lempar barang atawa gebuk meja. Intinya, CongLi, sang papah, tak secuilpun pernah memuji karya putranya, sedang sang putra sudah merasa setengah mampus meneladani jurus jurus fotografi yang diajarkan papahnya. "Hiks.. tak sekalipun dia mengucap baik selembar pun fotoku.." tanpa sesadar kata itu keluar ketika BinLi mengelus lengan sang fotografer kawakan yang terbujur dihadapannya. "Why..?" BinLi menelungkup disisi brangkar. Serta merta tangan yang disentuhnya terasa menggeremet dan pemiliknya membuka mata tipis tuanya. "Papah sudah ngeh.. uncle" BinLi berbisik ke asisten tua setia yang sedari tadi mematung. "It's okay BinLi.." dia hanya menjawab gitu melulu. Enggak lama dokter SpJP, Spesialis Jantung dan Pembuluh Dara, terlihat masuk menjelang. "Kita pindah ruang perawatan" katanya tegas kepada pasukan perawat disitu.
Pulang kerumah bersama asisten tua, cangkem BinLi membisu. Hatinya masgul, mikir antara takdir usia dan pengakuan papah CongLi. "It's okay BinLi.. it's okay.." balik lagi situa setia itu, omong itu lagi itu lagi. Namun BinLi sudah terbiasa, dia hanya membatin empat L, lu lagi lu lagi. Tiba di rumah studio mereka terduduk saja berdua. "Uncle, kalo papah nanti pass away, kan ku jokul semua ini" BinLi membuka. "No, BinLi. It's not okay. Absolutely not okay" si tua mendelik, kali ini beda tidak it's okay. "Buat apa dipanjangkan uncle. You know. Papah tak pernah sebersitpun mengakui hasil fotoku. Bayangkan! Semenjak muda, segala kuturuti teori ajarannya sampe babak belur. Sampe kini papah membeku disana, tak lah sinar matanya menampakkan sedikitpun pujian? Gilah, gak? I'm Nothing!" kepal BinLi menggebrak meja. Brak! Asisten tua diam, dan bergerak membuka lemari kecil papah CongLi, meraih beberapa lembar hasil jepretan tua dan anyar, lalu menyorongkannya kemuka BinLi. "What?" BinLi menggapainya dan segera mengenalinya bahwa picture itu hasil jepretannya dari masa silam hingga kekinian. Dipetaninya lembar perlembar, dari awal foto yang dipenuhi coretan dan tulisan tangan papahnya. Inti coretannya, jelek, bodok,kurang pintar yang ditemui pada lembar lembarhasil jepret di kemudaannya. Sampai tiba pada lembar jepret foto di kedewasaannya, tulisan tangan papah CongLi  mulai berubah menjadi good, good, good. Bahkan beberapa lembar foto terakhir tertulis tulis tangan papahnya. "Oh God! Dia sudah melampauiku!"
BinLi terpaku dan berlari memeluk si tua asisten papahnya itu. "Uncle.." dia menangis luluh. Sedang sang asisten tua hanya menepuk nepuknya. "It's okay BinLi. It's okay.." begitu mulu tanpa bosennya.
***
Sementara itu di ujung tikungan tak jauh dari studio foto, Rudi lelaki tengah usia, tampak cekatan merapikan buku di toko bukunya yang nyaman. Masih sedikit pembeli hadir, ketika seorang ibu muda hamil muda melangkah masuk. "Ada buku merawat baby?" suaranya merdu menyapa pegawai toko. "Baiklah. Ikut saya ibuk" penjaga memandu menuju rak buku yang dimaksud. "Terima kasih". "Kembali" Rudi sempat melirik nyonya muda itu yang rasanya bukan pelanggannya kerna belum pernah dijumpanya. "Mas, mas..Kalo karangan dokter Bahlul ada enggak ya..?"ibu muda itu sedikit teriak. Rudi menyembul dari balik rak mendekatinya. "Dokter Bahrul nyonya muda" balasnya sabar sambil mencerabut satu buku pink dimuka pembeli ceriwis itu dan menyurungkannya. "Terima kasih ya oom.." nonya hamil muda itu berucap enteng tanpa beban. Membalik halaman dan membacanya ringkas sambil komat kamit dengan gum di bibir indahnya. Rudi memperhatikan saja, entah, ada semacam sihir yang menguar hatinya. Perempuan cantik ini slengekan, berucap tanpa tedeng, tapi terlihat smart, meski perutnya menampak buncit tapi fashionnya aneh namun menarik. Rudi lama menatapnya, seakan melihat mirror dirinya sendiri di kala belia yang di cap kerabat sebagai pemuda badung. "Sudah berapa bulan?" Rudi beraninya memecah konsentrasi. Sementara menggeser bacanya, perempuan itu menatap heran dan curiga. "Emang kenapa oom?". Oh, no. Lupakan.." jawab Rudi paranoid sambil tertunduk. Menghindar tatapan mata belok pelanggan baru yang galak ini. Namun Rudi melihat sinar mata barusan, lagi lagi seperti mirror nya. Dia seperti menatap bola matanya sendiri. Rudi merasakan dingin dan seperti kedatangan kenangan silam yang sudah terpeti. Segera saja dia gercep ke meja kasir mengusir senja lampau. Mengatur nafasnya dan hanya menanti. Akhirnya nyonya hamil muda itu masuk ke alur kasir. "Loh, om disini? Saya kira pembeli pula?"  ketika perempuan itu memulai transaksi. "Maaf, saya pemiliknya" Rudi berusaha kalem. Selesai pembayaran, Rudi memohon jati diri sebagai data untuk pelanggan baru. "Bisa lihat identitasnya?". "No problem" perempuan itu menunjukkannya. Melinda Prikitiw, nama yang tertera disana. Seketika Rudi membeku. "Mungkinkah..?" dia merenung. Sudah lama dia tak memakai nama belakang yang sama itu seakan melupakannya. Yak, kamu bernama lengkap  Rudi Prikitiw, bisik kalbunya. "Inikah tabir takdir silamnya?" bibir Rudi menggetar. "Oom ngelamun ya!" tersentak oleh merdu suara dimukanya. Rudi malah berkaca matanya. "Mohon ijin bisa berbincang?"Rudi berkosa kata mohon ijin seperti tentara, sambil menggandeng perempuan yang menatap ganjil kepadanya. Sunyi sesaat, ketika mereka duduk diselasar nyaman toko Rudi. "Kamu sekarang tinggal dengan siapakah?" Rudi memulai. "Sama suami lah!..". "Bagus bagus..". "What is the point sih oom..?" perempuan itu mulai enggak sabaran. "Orang tua?". "Cuma mama oom". "Papa..?" Perempuan itu hanya mengangkat bahu dengan mata menerawang. "Sori oom, aku harus kontrol kandungan. Cukuplah bincang" perempuan itu bersiap beranjak. "Nama saya Rudi Prikitiw.." Rudi menyela, sementara perempuan itu terdiam memandangnya untuk kembali duduk ke kursinya. Mereka berdua berpandangan denga sinar mata yang nyaris tanpa beda. "Mamamu bernama Linda.." Rudi lirih bertutur lebih kepada nasibnya sendiri. Dan perempuan itu mengangguk, tak lagi menatapnya, kerna genang matanya sudah berpuluh tahun tak lagi tertahankan. Dia memeluk lelaki tengah tua itu. "Papa.."
tangisnya. Rudi mendekapnya, dia begitu lama merana, waktu waktu belia silam, pacarnya, Linda, hamil di paksa pisahkan ortunya yang kaya raya, mengungsi ke negeri alemania. Tak pernah bahkan mendengar degup jabang bayi. "Boleh papa merasakan degupnya?" Rudi menyapa lembut, sementara puteri dewasa cantiknya segera menarik lengannya ke perut bundarnya. Dia tak pernah merasakannya, hngga bertemu putrinya, Melinda dewasa, tapi sekarang , seakan dia bisa menebus rindu buah cinta dahulu yang sudah begitu karat. Â Â Â
***
Masih seputar kota urban ini, sepasang mantan berupaya move on. Boim dan Pola vanbrongkos, sudah broke up pacaran. Kerna perbedaan sifat dan sikap. Namun dikeputus asaan, mereka kerap bertemu tak sengaja untuk hanya mengenang dengan cara hipokrisi. Seperti hari ini, di tukang gado gado empok Uhuy, keduanya datang hampir bersamaan, meski saling menyapa dengan 'awkward', dan mungkin makan gado gado seperti tanpa selera, padahal sohor sebagai gado gado maknyos, gandos, mbledos. Kali hari mereka berpapasan di kedai eskrim Dogerian, tempat favorit kawula milenial. Sama aja, serba canggung dan bersapa tegur seminimnya. Begitu kerap selanjutnya, Boim en Pola, masihmencoba segala kenangan dalam kegengsian dan keegoan. Membuat mereka lelah, dan mulai mempertimbangkan bahwa cinta memang mesti diperjuangkan, maksudnya berjuang melawan ego diri sendiri. hampir berbarengan mereka mencerah, untuk enggak mau lagi, menyandang presiden jomblo sampe tua. Sehingga ketika tanpa sengaja mereka bertemu di kafe Baru, sebuah kafe yang betul betul baru pertama mereka jejak dan enggak ada urusan dengan lokasi kenangan. Barulah mereka berbincang satu meja. "Kamu pesan apa Pol?" si Boim membuka keheningan. "Biasa. Latte manis" Pola ayu menyahut kemriyep. "Ok sama" Boim. "Tumben, biasanya tanpa gula?". "Dulu tobat gula, sekarang sobat gula" Boim menyahut sedikit keras. Tampaknya mereka mulai masuk lagi ke adat lama 'playing victim'. Namun beruntung, segera pramu kafe mendekat meraup carik order, sehingga sedikit menyejukkan iklim sekitar meja untuk gencatan. Keduapun masih hening, hingga pesanan tiba memecah senyap. "Minum yuk.." kedua hampir bersamaan juga mengangkat mugnya masing masing. Serta merta tegukan di ruang kafe Baru seperti menyambut cinta baru. "Aku mau baru" Boim menyibak. Pola vanbrongkos merengkuh tangan Boim. "Kita tak perlu berubah. Kita hanya perlu bisa menerima" katanya lembut. "Deal?" Deal!" mereka bersalaman, sementara pramucafe yang bernama Ahdika itu menjadi saksi.
*** Â Â Â
Dan di hari empat belas Pebruari ini , studio Foto tiba tiba dipenuhi peminat foto pose. Terlihat BinLi dan asisten tua begitu lincah mengkover layout dan jeprat jepret, sementara sang papah CongLi, senyum senyum tenang duduk dikursi goyang. Para kustomer tertib menanti dengan penuh senyum, tampak diantaranya bos Rudi Prikitiw dan Melinda Prikitiw beserta mamanya Linda, mereka senyum bahgia. Datang sedikit terlambat pasangan move on Boim dan Pola vanbrongkos bergandengan tangan mesra banget. Serupa dengan yang lain mereka seperti punya cerita lain sendiri sendiri, yang males ku ceritakan.