Cerita tentang hujan adalah tentang laut dan sungai sungai. Mentari pembawa embun, yang terbit untuk membiarkan hari bermain sesukanya adalah rotasi kehidupan. Takdir yang ternyata lebih luas dari kehidupan yang menyedihkan, bisa diceritakan oleh embun yang mencukupi permukaan daun daun, yang tidak pernah mengurangi dirinya sendiri. Kerna embun bisa menghentikan matahari dan menghilangkan hari ketika kehidupan yang serakah mengacaukan kebutuhan embun.Â
Aku masih sementara menatapi hujan bergaris miring menerpa kaca jendela kamar tak hendak henti. Sudah lewat hari ketiga hujan seperti menangis tak reda, melewatkan tiga matahari, melewatkan tiga pagi embun. Dan pasti pula mengurungkan hari untuk keluar bermain. Tak ada yang kukerjakan kecuali membaca. Apa saja dari yang senang hingga yang kurang gembira, yang jelas menetapkan aku dan kamarku berada dalam kegelisahan.
"Haruskah kudatangi air?" di hari yang ke empat hatiku melonjak. Perasaan terangsang kok, menjadi seperti menguliti tubuhku. Â Apakah libido? Aku ketawa kecil. Membuka sedikit jendela dan menjulurkan lengan yang lalu terbasah air hujan. Aku kegirangan, air murni itu menimpa dan membelit di gelang lenganku.
"Aku akan keluar menjumpaimu, air.." ku tarik lengan dan merapatkan kacanya. Sekejap ku bongkar almari pakaian, sedikit bingung ku pilih mana. "Ah, aku akan memakai gaun cantik saja" dan aku sudah menentukan gaun putih panjang berenda. Ku berkaca berputar, bukan semata cantik saja, tapi aku merasa rindu, mengalami kesukaan untuk bergegas menyongsong genang  dan curah hujan. Entah sejak kapan kurasakan, yang terang itu samar, yang lalu ke sekarang ini, menjadi makin kentara dan tebal. Rasa keinginan basah yang memanggil begitu menawan.
"Ih.. kangen!" ku tak sabar berlari menuruni tangga kamar lotengku. Sepatu high heel ku berceloteh kencang saat membentur alas keras tangga, namun tak hirau. Ku menjelang membuka pintu muka, dan hujan sudah bergaris rapat memanggil, sementara halaman mulai dipenuhi genangannya setinggi mata kaki. Kontan ku melangkah menenggelamkan sepatu hak tinggi, sekejap dinginnya level air membelai kedua kakiku.Â
Aku merasakan nikmat, bersamaan dengan curah air yang semakin menebal membasahi rambut teruraiku,  kuyup bersama segenap gaunku. "Peluklah aku hujan!" aku melonjak menari, meninggalkan cipratan air berkeliling. Beberapa waktu  ku bentang kedua lengan untuk merasakan percepatan laju turun hujan yang mulai tak terkendali. Hanyalah bentuk guyuran air sehingga mengaburkan segala arah pandang. Sedang air di tanah, terus bertambah tingginya. Menaikkan permukaannya semakin lesat.Â
Mulai ku rasakan sudah sedengkul, lalu air meningkat di lingkar pinggangku yang melenyapkan ikat pinggang indahku. Sejak ini ku tau bahwa air akan segera membelai puncaknya ke level dadaku, yang membuatku  sedikit sesak. "Kenapa hujan, kamu membelitku?" ku sempat berbisik, sebelum bah air membawaku cepat bersama liar alirnya.Â
Dan sebelum muka air bergolak menyentuh hidung bangirku, sebuah bisikan alam membuatku mengikut saja relaks. "Kembalikanlah cair embun keatas, lewat lembar daun daun hijau". Sehingga sosok ku pun terbang mengikut arus saat air telah di bibir. Dan meninggalkan permainan, tinggi rendah pasang banjir, menuju sungai yang pulang ke laut.
"Mengapa tiada lelaki?" aku bertanya pertanyaan silam. Tak ada pengantin pria selama ini. Yang ada adalah kembalinya air hujan menuju ombak laut yang setia datang untuk pergi kembali. Tak terasa ku telah berjalan di kedalaman banjir, entah menuju sungai sebelah mana.Â
Aku hanya merasakan jalan kembali, semacam menyelam didalam perayaan ikatan yang satu satunya menarik kehidupan pribadiku. Sampai aku merasakan ada pasang air yang sedikit ringan, yang membawakan mutiara dilingkaran kedua pergelangan sepatuku. dan ku pikir ku telah tiba.
Tak lagi ada yang mengguncang dan menyedot tubuhku kali ini. Hanya air memanjang yang mengayun tubuhku, untuk datang dan segera kembali. Air yang tenang membuat kedua kakiku berjejak dasar lembut.Â