Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Solo Jokowi, Solo Gibran, dan Solo Balapan

20 Desember 2019   12:58 Diperbarui: 20 Desember 2019   13:03 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tahun 2005 saat melalui ekonomi lesu dan Solo menjadi terlihat marginal terutama di sektor industri rakyat menengah kecil. Hadirlah sosok pengusaha mebel berbadan kurus yang menyadari bahwa jalan politik adalah lompatan untuk sejahtera Solo. Maka dengan modal dengkul tapi bermodal cita cita dan dukungan akar rumput, terpilihlah sosok tersebut yang pernah disebut a new hope, Joko Widodo, sebagai walikota. Lalu selanjutnya adalah Solo menjadi model kemajuan yang bukan hedonis tapi kemajuan yang merupakan kebangkitan inspirasi dari sebuah tatakota kecil yang bersih secara fisik dan psikologis. Tak lagi terelakkan kotamadya Solo mengalami transformasi yang sejajar dengan level diatasnya.

Secara ekonomi berkembang cepat dan merata, dengan pertumbuhan yang bagus. Boleh dikata di tangan walikota Jokowi ,Solo tidak hanya menjadi salah satu sentris jawa tengah namun menjadi benchmark dari perilaku politik inheren antara partai (koalisi solo) dengan rakyat yang dilambangkan sang walikota Jokowi. Ini terlihat saat pilkada sekuen kedua walikota Jokowi sebagai petahana, dalam pilkada walikota Solo 2010 dimenangkan dengan raihan fenomenal 90,09% suara. Sebagai cerminan demokrasi suara rakyat yang sangat berbeda dengan diawal pilkada perdana yang meraih sekitar 37% kemenangan. Legacy demokrasi mendekati aspirasi rakyat adalah tampak ideal dari arah politik yang kerap diorasikan sebagai ber etika, santun dan menang tanpa menyoraki. Inilah salah satu contoh bersih dari suatu politik pemilihan yang tanpa label label lain identitas, pragmatis, sarat kepentingan yang kerap mewarnai pemilihan selama ini. 

Solo pun menjadi sejahtera dalam arti utuh, tanpa memendam luka bekas pertarungan pilkada sehingga Solo menjadi matang dengan jalur kampanye kemenangan Jokowi yang jujur dan rendah hati tanpa ada permainan money politic. Berjalan dengan keberpihakan rakyat Solo, dari program kesehatan masyarakat Solo yang mirip BPJS, penataan pedagang kakilima besar besaran tanpa kekerasan hingga bantuan pendidikan masyarakat Solo, Jokowi terlihat genuine apa adanya, tetap serupa tidak berubah saat sebagai calon maupun menjabat. Boleh dibilang Solo dibuat dewasa berpolitik dengan mengalami rasa sendiri warganya terhadap pimpinannya. Inilah Solo Jokowi.

Terus bagaimana dengan Solo sekarang, menjelang pilkada Surakarta 2020?  Yang jelas jejak politik adab Solo akan terhapus seiring berubahnya model paradigma politik  yang diusung Gibran, yang copy paste dengan cara berpolitik kekuasaan selama ini. Sayang deh, Solo akan rusak sebagai kota terdepan dengan politik bening anti mainstream dan pragmatis seperti kebanyakan.

Hak setiap warga negara untuk menjadi apa saja termasuk menjadi walikota, juga hak setiap orang untuk berpendapat apakah suatu gerakan dinasti atau bukan. Mungkin bisa ruwet jika diperdebatkan apakah munculnya Gibran di bursa pilwalkot Solo 2020, ini soal normatif, kepatutan, prerogatif pimpinan partai, aji mumpung, sayang anak atau hak konstitusi. Bagusnya dikembalikan kepada hati nurani (hanura) masing masing saja, barangkali bisa lebih jujur.

Dilihat dari sisi milenium juga bisa lebih seksi, mengingat Gibran termasuk milenial banget. Terlebih Jokowi telah mengangkat seven special staffs, dari millenial generation, generasi ke seribu tahun dengan record intelektual dan interprener yang mencengangkan. Sayang tidak terdapat staf khusus politik milenial, yang bisa memberi masukan atau bisikan ke telinga Jokowi, segala case politik yang lebih milenial sebagai pembaruan dari politik usang, yesman dan kroyokan. Mungkin perlu ditambah tuh satu lagi, anak muda milenial yang cerdas dan paham politik  yang fresh, idealis, kritis dan klimis kinyis kinyis.  Sehingga engak saja mendorong new era atau new wave of millenial politics untuk memutus rantai partai dengan politik kuno, tapi juga menginduksi masyarakat milenial daerah untuk teguh menginginkan politik bersih sesuai tujuan kesejahteraan yang bukan ecek ecek, seperti yang telah ditanam oleh Jokowi di kota Solo.

Sepertinya ada jalan yang lebih mienial yang bisa ditempuh Gibran, dengan membiarkan Solo terpelihara menjadi as it is, menjanjikan lompatan Solo dengan menjadi nomer satu Solo. Gibran bisa berkiprah dimana saja termasuk di Solo dengan mengemudikan kendaraan baru dan tantangan yang bener bener baru,  yang notabene ikut melestarikan sejarah politik Solo bapaknya. Persis seperti ketika dia memulai bisnisnya markobar (maknyus..) dengan mencari modal sendiri,  tanpa sentuhan dan ikutan rombongan bapaknya, dimana orang terpana ndlahom. Waah.. kerend banged..!

Namun apa daya, Solo Jokowi akan  mungkin segera berubah, tergantikan Solo Gibran yang nantipun akan berubah seperti kota kota kebanyakan lainnya. Hanya Solo Balapan yang tak pernah ambyar. Bukan begitu mas Didi Kempot?   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun