Perlunya jubir Jokowi yang terukur dan lebih baik lagi adanya penasehat yang bukan semata watimpres fromalitas yang pakewuh bisa lebih formed dalam menghadapi case case seperti di atas.
Bahwa problem nyata seperti ratio hutang selama periode pertama naik dari 24% GDP ke 30%GDP yang bisa dibandingkan dengan ekonomi non intervention policy pemerintah sebelumnya dimana ratio utang malah bisa menurun. Neraca yang selalu defisit tidak bisa ditambal dengan hanya keniscayaan akan kemasifan infrastruktur.Â
Penguatan pemberantasan korupsi lewat institusi formal yang sudah integral seperti kepolisian dan kejaksaan harusnya menjadi momentum, di saat KPK mulai kehilangan leadership dan soliditasnya. Pekerjaan rumah yang enggak mudah dalam pemindahan ibu kota ke Kalimantan yang tidak jelas apa nilai tambahnya. Â
Keniscayaan dari trans Papua, tol panjang di pulau ke-2 terbesar di dunia dengan 3,5 juta populasi, apakah akan tergerak secara ekonomi, mengingat bahwa ekonomi itu digerakkan oleh orang, apakah 3,5 juta orang bisa menandingi 100 juta orang? Termasuk pula kenaikan iuran BPJS yang melengkapi nafas panjang rakyat dalam program mulia pemerintah yang semestinya tanpa reserve.
Barangkali banyak strategi kerja yang perlu dipikirkan lebih matang ketimbang gelar atau anugerah yang enggak spesifik dan masih berdinamika atau masih otw. Iya enggak sih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H