Telah silam aku tak menulis dengan hormat sebilah kisah cinta. Entah menunggu ketika jatuh November. Kupikir aku mesti sopan dengan tulisanku yang akan kamu baca manisku. Ah! Kamu tidak suka disapa manis. Maafkan pangeranmu yang lancang ini. Karena kamu berbahasa ibu pertiwi. Bersama silsilah yang tidak lekang. Sehingga ketika Sibu tak pernah menampak  akan kehadiranku yang urakan, bukan kutau bahwa beliau tidaklah menyukai melainkan karena budaya, dia tau dia rasa. Dan kamu pun tidak ada paksaan dari istiadat melengkapi menjadi pacar diriku yang mahasiswa. Jadi seperti hitam putih skenario tipikal bioskop, pacaran kita tidaklah kreatif hanya copy paste filem filem latah seragam yang timbul tenggelam bersama musim. Eh! Dan hujan pun mulai memusim di prelude November ini. Yang selalu membasahi kaki jenjangmu meski kita berpayung ataupun menepi dari tempias deras curahan air langit. Dan tak ada lain selain kamu mendekapku daripada harus mengibaskan basah disekitar jas hujan bertudung menutupi rambut indahmu.
November rain, memang penuh kehangatan berbalut kedinginan, terkadang cuacanya parah tapi menemukan cinta di matamu ketika aku memegangmu. Meski berkali kali melenggang dalam garis hujan, tapi kita tak pula menyukainya. Lalu hanya menunggu pilihan menatap jatuh garis garis air yang selalu rapat dan enggan mereda.
"Kenapa tidak pakai mobilmu saja, Ayu?" Sibu ningrat kerap menggapai kamu, karena memang  saban hari kita beririsan dengan November hujan yang jejal. "Biar saja Sibu, aku senang dengan lelaki bermotor itu. Tidak mengapa" Kata anak gadis menenangkan kawatir panjang ibu tersayang. Dan memang November Rain menjadi balada hujan terpanjang antar aku dan Raden Ayu, yang menyukai sepatu kets kanvas dan simponi. Sedang buatku yang sejati rock menjadi kerap berbenturan dalam penerimaan rock simfonik yang kamu senandungkan di hampir setiap jeda hujan jalanan November. Aku tak suka November basah namun sekaligus suka karena kita kerap berpelukan hingga menyentuh paras elokmu yang dilumuri gerai rambut hitam lurus  menggoda keindahan.
Sehingga akhirnya diriku pun lumer melihat dari sisi hakiki klasik dari tembang borjuis ketika mendengarmu sebagai piano woman yang meluruskan keindahan November Rain. Sehingga dalam hati, aku memasukkannya ke kalbu jiwa. Bahwa November Rain, Don't Cry dan Estranged sejatinya adalah trilogi hujan, tangis dan keterasingan.
Aku tak menyadari ternyata itulah takdir yang menuntun jalan yang belum genap, langkah yang masih mentah, menuju kamar kegilaan. Meskipun tiada sesal ketika menyatukan November Rain kamu, merasuk kedalam dua seri ku, menjadi tiga kesatuan tak terpisahkan menjelmakan trilogi November Rain, Don't Cry dan Estranged. Yang ternyata hujan November tidak pernah berhenti sepanjang masa karena berlanjut oleh tangis berkepanjangan di alam mendung keterasingan.
Berawal dari salah satu langkah kehidupan yaitu menikahi kamu. Kutatap  cahaya masa depan cinta bersama pesta hidup baru. Dan itulah November hujan, yang tak berampun mengirimkan curahnya dalam kecantikan bidadari. Sehingga surga pun iri hati, mengambilmu lewat tangan geledeg halilintar. Mengantarkan kamu kepada kekal. Dan kamu pasti sudah tak tau lagi, ketika jalanku bukan hanya hujan namun bercampur kelam di gelapnya November basah.
Dan akhirnya, sehabis lampaui bertahun jarak hingga memutih, barulah ku berhasil melepas bebat hospital dan remedi yang kutelan sepanjang hayat. Lalu menuliskan tulisan ini.
Tertanda Axl.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H