Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Pelukis

1 November 2019   19:14 Diperbarui: 1 November 2019   19:59 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.com/id/user/free-photos

Semenjak jebol jurusan seni rupa, dia menetapkan tangannya menjadi pelukis.  "Aku hanya melukis matahari" katanya dikemudian hari, ketika penikmatnya menggiring kalbunya untuk melukis segala dimensi.  "Kenapa Bung" serempak kritikus mengejar. Pelukis gondrong itu menoleh ke khalayaknya. "Heh? Lalu kau sebut apa mentariku?" dia malah bertanya balik. 

Penggemar tersipu diam. Lalu pelukis melanjutkan sapuan kuas keemasan keatas kebawah, sret, sreeet..! suaranya menggesek kanvas membikin penikmat di sekeliling semakin hening membeku jerih untuk bersuara.  Sampai akhirnya sang perupa menurunkan lengan belepot warna sambil menikmati lukisan matahari kuning emas bercerabut helai sinarnya yang keluar dari inti merahnya. 

Lukisan itu demikian hidup membuat penonton yang berkerumun ternganga ndelahom. "Indah banget.." mereka saling berbisik,saling mantuk mantuk seakur. Sang pelukis sendiri terlihat sibuk meniupi kain kanvasnya seperti ingin lekas mengeringkan  mentarinya untuk segera bisa menghangatkan. Tak lama pelukis gondes ini mengaitkan kotak kanvasnya dan menggantungkannya di sisi beton tanpa pigura. 

Garis garis sinar lampu redup yang mulai dihidupkan para pengunjung, terpantul menimpa lukisan, yang mengisyaratkan gambar mentari menjadi hidup dan menghangatkan. Mereka serta merta berdekatan mengelilingi mentari merasakan kehangatan yang menebar diantara mereka.  Beberapa anak kecil berjingkat maju kedepan memeluk dengkul kecilnya, ikut merasakan hangat mentari tergantung rekat  di hadapan wajah  wajah lugu. 

Seorang bocah kurus perempuan yang rambutnya tak tertata, berdiri terpesona. "Kalo dia hangat, biarkanlah dia menjadi hari ku, ayah" tutur kepada bapaknya yang masih mendekap dengkul kedada keringnya. Sang pelukis tertawa. "Hahaha, gadis pintar. Akan pakde biarkan mentari ini menjadi hari. Sukak?" Anak perempuan itu tersenyum meski terlihat pias pipinya. Penikmat yang lainpun menggeremeng seakan setuju saja apa kata si perupa, yang memang mereka merasakan hangat dan melihat bahwa hari telah tercipta setelah sekian lama tak pernah hadir.

"Pakde pelukis, aku mau gambar burung" tiba tiba seorang bocah lanang telanjang dada bercocot lantang, sementara rusuk tulangnya mencuat seperti menahan udara dari nafasnya. "Aku pelukis mentari,bocah.." pelukis menggeleng. "Aku juga mau burung!" serta merta serempak anak anak lain meniru dan menuntut tidak mau tau. "Iyah, kenapa ada matahari tapi tidak ada burung?" kembali gadis kecil pintar berargumen , yang membuat pelukis gondes tepok jidad salah tingkah. "Baiklah!" ujungnya jebolan seni rupa gak jelas ini, terpaksa mengingkari sumpahnya untuk hanya melukis mentari.

Dipilihnya kotak kanvas putih bersih dan mulai menoreh sketsa burung bertengger di ranting pohon dengan ringkas. Kembali hadirin seperti posisi semula bagai terhipnotis oleh gerakan tangan pelukis magic ini. Mewarna cat biru hijau dan putih kuning, tak lama terwujudlah seekor burung berbulu indah bertengger pada ranting pohon hijau. Demikian hidup sampai mata burung itu seperti kaca yang menggerakkan bayang, dengan paruh bengkok lancip seperti sedang berkicau.

"Selesailah!" tiba tiba sang perupa menggantung tangannya yang belepot warna, menghentikan geraknya. "Wuaaahh... begitu hidup.." seluruh anak mendelik dan para orang tua nya kembali ndelahom. Tanpa menanti jeda, pelukis gondes kembali menggantung lukisan burung disisi lukisan mentari terdahulu. "Lengkaplah sudah" keluhnya senang. Dan para keluarga yang menonton semakin rapat merubung, menyatu lekat dengan kedua lukisan itu. Wajah mereka terlihat bahagia sedang anak anak juga terlihat mulai terlelap nyaman. Mereka merasakan hangat yang telah silam tak pernah dirasakan dan juga seperti mendengar indahnya suara burung melagukan kicau merdunya. 

Sementara itu sang pelukis terlihat membereskan ornamennya dan bergegas pergi tanpa suara. Dia telah meninggalkan hari yang hangat dengan kicau merdu burung yang diyakini tak lagi dipertanyakan apakah itu benar benar pagi  hangat dipenuhi siulan burung merdu.

Sementara itu malam makin merayap dalam, disertai angin dan hujan yang menyapu kolong jembatan,  yang selalu saja merendam dingin penghuni lorongnya. Namun kali ini mereka tak lagi menggigil beku.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun