Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mencari Dini

4 September 2019   01:16 Diperbarui: 4 September 2019   01:30 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dini Gadis, meninggal muda. Waktu itu fajar kepergian. Ran Lelaki, kekasih Dini menangis. Wafat muda itu langka,mungkin sekian juta satu, makanya menyakitkan, mencipta banyak kehampaan yang susah dipulangkan.  Setelahnya Ran limbung, karena dia sudah melihat sejarah masa depan, the morning after, disetiap pagi berikutnya.  Semenjak kematian Dini di dini hari,  Ran lalu menghindari pagi, dia membenci pagi, melupakannya dengan bangun tidur di siang bolong.

"Dini enggak mati, dia diambil pagi, disembunyikan dini hari" Ran begitu sering menjawab pertanyaan yang membosankan tentang kekasihnya.  Maknya yang rondo ditinggal lelakinya mati hanya memandang lemah putranya.

"Tak mengapa, kamu perlu waktu anak lanang. Kita akan mendiskusikannya kedepan" kata emak halus.

Ran akhirnya percaya bahwa Dini Gadis, memang dilahirkan oleh pagi buta lalu menjelma cantik ketika pagi membentuk hari bersama mentari. Berminggu diolahnya dalam otaknya akan kesedihan kehilangan. Apakah kekasih mendiangnya pulang  ke ruang pagi berikutnya. Dia mengurai banyak puisi bahwa pagi di timur adalah kelahiran dan petang di barat adalah kematian, lalu surga lah disatu pagi yang telah ditentukan.  Lalu Bila? Ran berkeringat, dia tak mau kehilangan kesempatan mencari, sebelum Dini kekasihnya betul betul gaib di pagi takdirnya.

Disuatu malam yang telah tua, sambil memikul backpack, Ran Lelaki, memohon pamit.

"Aku mau ke puncak gunung, Mak" Ran bilang emaknya diperaduan.

"Macam mana kau nak pigi?" emak bertanya tanya dengan melek mata yang belum sempurna.

"Aku hendak mencari pagi, mak!" Ran mencium punggung tangan emaknya sedang sang empunya lengan memandang putranya tajam, seperti meneguhkan lebih kepada dirinya sendiri yang mulai renta.

Anak emak pun berpelukan, serasa silam dirasa kedua kalbu berhadapan. Emak melepaskan tangannya dan Ran Lelaki pun berlalu.

Empat hari berpasang malam, tibalah dipuncak pendakian gunung, kala itu gelap menjelang malam, Ran menyalakan unggun dan menyantap makanan kaleng. Dingin tampuk argo membekukan tubuhnya gemeretak, namun rona api sedikit menghangatkannya. Ran merenung untuk esok.

"Apakah gunung ini lebih tinggi dari pagi, sehingga aku bisa melihatnya?" ada sedikit sangsi yang membuatnya enggan terpejam. Memanglah, Ran begitu sibuk sehari hari, sehingga dia tak pernah berpikir tentang pagi. dia tak tahu pagi, kapan dia tiba, kapan berlalu dan menjadi siang.

"Akankah benar benar ada pagi? apakah itu sesuatu yang akan bernama hari?" pertanyaan itu semakin berputar dikepalanya membuat akhirnya terlelap.

Lalu fajar timur pun menyingsing, Ran tergugah,  ada sinar bermunculan dari balik timur kaki langit, dia senang.

"Inilah keluar pagi" bisiknya. Dia menduga pasti pagi memiliki kaki seperti teratai? Namun tak lah dilihatnya kaki kaki. Lalu manakah pagi? Sementara garis garis sinar semakin merekah bak helai helai bulu. "Apakah engkau seekor burung besar?" Ran bergumam menunggu. Namun kecewa hati, ketika bulat mentari mulai menyembul dan sinar memenuhi atmosfir, tak juga merasuk bentuk pagi yang dibayangkan. Hanya kemudian terang dan terang menuju kulminasi siang. "Dimana kamu pagi, aku tak menemukan letakmu pagi!." Ran bersedih, bersikukuh harap akan berjumpa pagi Dini kekasihnya.

Pulang turun gunung lebih lekas dari helat kepergiannya.  Dan Ran sudah mencapai lereng pos pangkalan para pendaki. Ran mengaso melepas nafas sambil bercengkerama sesama. Memandangi gambar peta yang terhampar, menelusuri arah panah timurnya,  yang tak pula menampilkan letaknya pagi.

"Tak ada yang berani menemukan pagi di peta , bang!" seorang petualang senior bermuka serius menerangkan.

Ran tertunduk lesu, mungkinkah esok, pagi akan benar benar membawa Dini Gadis, kekasihnya?  Berat kaki membawanya pulang kerumah. Entah gerangan, dia begitu rindu akan emaknya. Dan ternyata benarlah firasatnya. Malam, menjelang pintu rumahnya, orang orang ramai berhimpun dirumahnya. Ran seketika tau emak pergi seperti Dini. Dia pun menangis yang kedua kali, akan kepulangan malam emaknya, yang artinya dia mesti menggeledah malam tempat emaknya bersembunyi pula.

Serampung pesarean emaknya, Ran yang telah yatim piatu, memulai masa pencarian kedua tercinta pagi dan malam. Tak pernah lelap, membuatnya drop dan jatuh sakit, sehingga tak lagi tertolong.

Tepat di siang hari Ran Lelaki berangkat, dihantar kerabat tersisa.

Sementara dibelahan sana, Ran Lelaki, Dini Gadis dan emak bersua, disuatu pagi yang melulu putih terang. Mereka tau dan tersenyum, bahwa pagi ternyata enggak datang dari daerah sebelah timur, pagi itu tidak pernah hilang, pagi itu selalu ada. Ran tak perlu mencarinya atau menemukannya. Ran akhirnya mengerti, Dini tak disembunyikan pagi, karena pagi selalu ada, dia tidak terbit di timur, tidak juga terbenam di barat. Hanya menunggu sampai pagi itu benar benar menghilang karena berhentinya putaran poros.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun