"Beberapa sosok pun sigap memuat meja besar itu ke puncak bak truk besar, perlahan berhubung cukup berbeban."Â
Jono Tua menekuni meja kayu dengan mata kasatnya. Barangkali inilah karya ciptanya yang terujung sebagai seorang tukang kayu yang sudah melakoni kesederhanaan panjang. Â
Sebuah kesetiaan terhadap profesi. Hembus nafas yang tersengal menghambur disekujur permukaan meja kayu mentah, mengiringi irama cengkeraman ampelas penghalus di tangan kokoh yang mulai bergetar.
Sebuah meja kayu berukuran besar layaknya sebuah meja makan yang memadai untuk tiga belas orang, telah mendekati rampung. Jono Tua terduduk lelah, dia rehat sejenak memandang sore menjelang. Sudahlah waktunya, dia mengangankan akhir karirnya, yang disimpulkan oleh kerapuhan manusia.Â
Ya, dia akan bersurut untuk seterusnya menikmati jalannya mentari. Meja kayu lebar ini adalah buatannya yang terakhir dari kisah panjang kehidupan bersama kayu, tangan dan hati. Suatu kehidupan langgeng sesosok tukang kayu bersahaja.
Seandainya putranya masih disini? Jono Tua menerawang silam putera lelakinya yang tampan, yang memutuskan meninggalkannya bekelana untuk mengejar kisah dan menggenapi suratan. Tentunya sekarang dia telah dewasa dan bercahaya. Jono Tua bersaput mata, meskipun mendulang sepi, hatinya ikhlas menerima hidupnya sebagai alur dari utas permadani yang telah terajut surga.
"Hey Tua! Selesaikah sudah?" beberapa orang bertubuh kasar mengangetkan, datang menagih meja kayu pesanannya.
"Ah, tuan tuan. Silakan" Jono Tua tergopoh menggiring mereka.
"Mmm.. cukup memadai" sang pembicara tersenyum. "Bisa kita angkat sekarang, Tua?" "Tentu saja"
Beberapa sosok pun sigap memuat meja besar itu ke puncak bak truk besar, perlahan berhubung cukup berbeban.Â