Tepatnya petang menjelang, makanya sinar coklat mentari tua begitu hambur diselesai keemasannya seperti hari yang pernah lampau. Iya. Silam sangat, hingga begitu kuno diurat batok kepalaku. Sehabis bertahun.
Entah persisnya, mungkin lebih dua setengah dekade, atau lewat duapuluh lima tahunan meninggalkan rumah ini. Rumah purwa ku. Masih saja menyimpan peradaban kehidupanku yang masih tertinggal. Masak sih? Mestinya itu rekoleksi. Tapi aku menemukan hampa, hanya pintu kayu tebal rumahku yang menggigil dihadapanku.
Cahaya senja turun bergaris garis, menerpa seluruh atap rumah tua yang rijid seperti tersirami redup. Tak terkecuali pintunya yang begitu terlihat lamban menyerap lurik sinar di irisan halus urat urat kayu mature nya.
Dan aku semakin gugup, menatap pintu yang sudah menjelang beberapa dekameter dari wajahku sekarang.
Haruskah ku masuk? Ada ketidak beranian jika tak suka dibilang ketakutan, untuk menyentuhnya apalagi memutar kuncinya dan menarik gandar pembuka. Aku hanya terbeku dengan lengan kaku lurus kebawah, bersamaan merayapnya satu kuat rasa akan hadirnya satu bayangan dibalik pintu. Satu sosok  entah yang seperti aku kenal lekat sebelumnya.   Â
Dan kamu tau, Â bahwa aku tau dia begitu solid menatap mataku dari balik kayu tebal pintu, bahkan menusukkan tanya, soal bisnisku selama ini. "Hei! Kamu tahu? bahwa hidup bisnis kamu masih teronggok disini. Ya, dibalik pintu ini!"
"Hahahahaha.." aku tertawa sumbang, keras meruntuhkan, mencoba membalas menakuti pintu itu. Namun pintu bergeming, menunjukkan tampangnya bahwa dia sangat terbiasa dikorbankan untuk segala keresahaan tanpa pernah menderit. Sang pintu tanpa sekalipun bermaksud melawan, dia tak bisa dan hanya menanda. Boleh coba, kau akan tau disebaliknya.
Aku mundur sedepa, dari muka pintu, pintu ku sendiri. Memalingkan muka ke lurus pohon klengkeng yang tak pernah berbuah sejak ku remaja. "Bukankah aku datang, sehabis bertahun tahun, untuk mengambil nostalgia, selurus aturan waktu yang tampak sebagai mudik tradisional. Yes, aku telah menjadi pengunjung yang memiliki hak kenangan". Â Aku berdebat didalam kalbu.
"Hei! Setelah melanglang hidup bertahun tahun, tentu saja aku berhak memiliki memori. Bukankah ini bayaran kebahagian dari reuni ?" Aku berteriak namun kurasa seperti melepas lirih. Kepada siapa, tak lain pintu itu, tak hirau secuilpun.
"Aku hanya ingin melihat kembali tempat tinggal yang pernah aku tinggali" Aku mulai terisak. Entahlah aku mulai gemetar. Marah? Kecewa? Frustrasi? Ah!
Mengapa isi dibalik pintu ini menakutiku, layaknya hantu yang menanti, tapi sangat ku kenal dan kuinginkan sekaligus kuhindarkan. Dia menanyakan lagi bisnisku setelah nyaman berkelana berpuluh tahun untuk menagih nostalgia yang tentu saja , sah menjadi hak milik ku.