Skuli menepikan mobil coopernya. Telpon genggamnya berdenyut  layar capturenya terpampang  tampang Mulder, mitranya.
"Ada apa Mul?"
"Puter balik, Li. Segera!"
"Kenapa?"
"Bahaya! Abort!"
"Oke, sip, tengkiu, bai!" Skuli menutup kontaknya.
Cooperpun berputar dengan gerak roda depannya yang berdericit. Ciiit.. Ruum!. Kotak mesin mungil ber cc gahar itu kontan melesat dengan akselerasi puncak rotasi dihitungan detik satu digit.  Skuli pengemudi deras, suka gas pol ogah rem, amat tipikal. Dia banget. Tungkai rampingnya bergantian dengan jemari lentiknya, bak penari,  overlapping  menekan pedal dan melesap clutch manual. Dia anti matic, enggak libas,  satu saat jawabnya bosan.
Beruntung jalan aspal berlengang sehingga hanya menelan beberapa menit dia sudah menggapai posisi Mulder di kediaman Asep gundul pemilik salon.
Makciiit..! Cooper berhenti rigid. Skuli mendorong pintu tebal tunggangannya lalu melepasnya. Jleb!
"Mulder!" dia langsung menghentak.
Mulder tak mendengarnya, dia kelihatan mundar mandir seperti bingung kurang kerjaan.