Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | HL

20 Maret 2019   00:34 Diperbarui: 20 Maret 2019   01:04 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasruk menghabiskan malam di meja kamar membuat tulisan fiksi. Hanya itu yang dikerjakan sejak muda. Seingatku berlaku kencang ketika dia mulai berkuliah di jurusan sastra. Meskipun bapaknya menentang, Nasruk bersikeras pada passionnya. Sangat beralasan, kerna sang putra berotak encer, lebih pantas mengambil jurusan teknik. Kadang bapak menyesali berkepanjangan, kenapa anak pintarnya malah pingin jadi pujangga. Sedang aku kerjanya hanya menengahi saja, menjadi jembatan antara Nasruk dan bapak.

"Mau jadi apa anak itu?" bapak sering mengumpat ke muka ku.

"Sudahlah om, kalo begini terus dia bisa gila" pendapatku ekstrim, bila hatiku sedang bete.

"Terus..mau jualan kertas mimpi dia nantinya?"

"Iya enggak lah om. Jangan downgrade begitu. Kuliah dia, sebentar pula rampung, sebagai sarjana sastra"

 "Om mu tak bangga Jang! Harusnya sekarang dia sudah sarjana teknik, keren kan. Seperti om, insinyur. Semua anak temen om begitu" bapak kembali mengulang ulang omongan basi ke kupingku.

"Sebagai ponakan saya ingetin nih om. Udah tahunan om belum juga move on. Nasruk udah gede, lepaskan cita citanya sendiri, jangan didikte. Biar dia yang menentukan mo jadi apa, secara bertanggung jawab. Kalo gini terus, ini udah menjadi persoalan serius lho, om" aku setengah menasehati setengah mengancam. 

"Terserah kau sajalah, Jang! Om udah enggak ikut ikut lagi. Kecewa!"

"Wahduh! Om tau, kalo sekarang aku sering liat Nasruk suntuk. Akhir akhir ini, dia semakin pendiam dan pemurung"

"Mmmm.." bapak garuk garuk kepala.

"Om, jangan mmm.. aja.  Harus support. Nasruk perlu dukungan penuh dari om"

Bapak menatapku, mungkin berusaha menyerap cerocosku, yang biasanya dianggap angin lalu kini dirasa seperti angin duduk. Nah lo!

"Maksudmu, Jang?"

"Anak om, Nasruk, sekarang beda, nyusruk om. Aku prihatin. Dia enggak pernah brenti menulis. Jeda makan, nulis kembali, jeda tidur, nulis lagi. mulutnya terkunci tak bicara. Ngeri, om!"

"Ah kau..?"

"Sungguh, om.." mataku terasa mau berlinang.

"Nulis apa dia, Jang?"

"Lha sastra lah!

"Kok jadi mabok gitu?"

"Nggak tau lah?"

"Sekarang dimana?"

"Kamarnya om"

Lalu kami berdua naik ke lantai dua menuju kamar Nasruk. Dari pintunya yang ternganga, terlihat Nasruk sedang mengetik di kibor laptopnya. Kepalanya tak sekali jua menoleh, saat aku dan bapaknya melangkah masuk.

Bergandengan kami mendekat dan bapakpun menyentuh pundaknya, namun Nasruk bergeming. Kami berdua bertatapan ngenes.

Sementara Nasruk terus menatap monitor laptopnya, tanpa hirau akan kehadiran kami berdua, jemarinya terus bergerak menekan aksara kibornya tanpa henti. Terus dan terus.

Aku dan bapaknya Nasruk, menatap monitor dan melihat satu kalimat yang tertulis berulang ulang, yang ditulis Nasruk memenuhi layar laptopnya. 

Lalu kami bersikeras, meski kepala kami pusing dan membaca.

"Bertahun tahun enggak bisa HL. Bertahun tahun enggak bisa HL. Bertahun tahun....."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun