Nasruk menghabiskan malam di meja kamar membuat tulisan fiksi. Hanya itu yang dikerjakan sejak muda. Seingatku berlaku kencang ketika dia mulai berkuliah di jurusan sastra. Meskipun bapaknya menentang, Nasruk bersikeras pada passionnya. Sangat beralasan, kerna sang putra berotak encer, lebih pantas mengambil jurusan teknik. Kadang bapak menyesali berkepanjangan, kenapa anak pintarnya malah pingin jadi pujangga. Sedang aku kerjanya hanya menengahi saja, menjadi jembatan antara Nasruk dan bapak.
"Mau jadi apa anak itu?" bapak sering mengumpat ke muka ku.
"Sudahlah om, kalo begini terus dia bisa gila" pendapatku ekstrim, bila hatiku sedang bete.
"Terus..mau jualan kertas mimpi dia nantinya?"
"Iya enggak lah om. Jangan downgrade begitu. Kuliah dia, sebentar pula rampung, sebagai sarjana sastra"
 "Om mu tak bangga Jang! Harusnya sekarang dia sudah sarjana teknik, keren kan. Seperti om, insinyur. Semua anak temen om begitu" bapak kembali mengulang ulang omongan basi ke kupingku.
"Sebagai ponakan saya ingetin nih om. Udah tahunan om belum juga move on. Nasruk udah gede, lepaskan cita citanya sendiri, jangan didikte. Biar dia yang menentukan mo jadi apa, secara bertanggung jawab. Kalo gini terus, ini udah menjadi persoalan serius lho, om" aku setengah menasehati setengah mengancam.Â
"Terserah kau sajalah, Jang! Om udah enggak ikut ikut lagi. Kecewa!"
"Wahduh! Om tau, kalo sekarang aku sering liat Nasruk suntuk. Akhir akhir ini, dia semakin pendiam dan pemurung"
"Mmmm.." bapak garuk garuk kepala.
"Om, jangan mmm.. aja. Â Harus support. Nasruk perlu dukungan penuh dari om"