Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

MU, The Heart of Stone

7 Maret 2019   16:36 Diperbarui: 7 Maret 2019   16:45 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kunci kekalahan PSG adalah kesalahan bodoh didalam satu team bintang  mewah dengan permainan offensif yang membingungkan. Gaya main Perancis bercampur stil Argentina membuat pemain pemain PSG bermain dengan possesif ball yang tidak perlu layaknya suatu permainan latihan. PSG jadi norak.

Dengan 76% kekuasaan pada bola dan  hanya mendapatkan kemenangan hampa yaitu pencitraan bermain bola pada dominasi permainan bukan dominasi peperangan. Suatu atraksi bodong distadion  Parc de Princes, mabesnya Paris Saint-Germain, yang ditangisi para bobotoh PSG.

Mereka bermain seperti pepatah, gajah didepan mata tak tampak, kuman diseberang lautan tampak. Dan gajah itu adalah Romelu Lukaku, the Kongo-Belgian nomaden.

Diawali PSG Back, Kehrer yang malang, yang selalu gugup menangkal Rashford, harus membayar mahal akibat passing lemotnya ke Thiago Silva, sehingga bisa diiris raksasa besar  bermata tajam yang selalu berlari kilat, lalu mengagetkan Gianluigi dengan goal di detik ke 111. Goal cepat sepakbola adalah firasat kekalahan, kerna goal kilat tidak semata score namun juga sesuatu yang mengangkat  keyakinan diri pemain disepanjang permainan.

Meskipun PSG dengan cepat mulai mendominasi dan menyamakan kedudukan 10 menit kemudian  dari Bernat setelah menyelesaikan  umpan Kylian Mbappe melintasi muka gawang. Namun dominasi PSG nampak terlihat seperti KRL yang pulang balik menaik-turunkan penumpang tak lebih.

Kemiskinan kedua, tersaksi lewat tembakan panjang telanjang Rashford, yang ribet tiba di ditangan super kiper Gianluigi, lagi lagi raksasa terluka, Lukaku, menyambarnya seperti cahaya terjaring dijala Gianluigi yang terduduk dengang mata kosong. Mungkin ini mengingatkan the Alemannian Thomas Tuchel manajer PSG, akan ketuaan yang tak bisa dipungkiri oleh kiper daring "Gigi" Buffon di usia 41, bahwa tangan ajaibnya mulai memudarkan magicnya.

Setelah score kalah 2-1 dan menang aggregate 3-2, PSG bermain pola tanggung, menyerang setengah hati, bertahan tapi mau menang. PSG hanya menunggu keyakinan duduk manis di perempat final UCL, tanpa melihat sejarah MU dan Solskjaer muda, yang mumpuni sebagai supersub, si jagal berparas bayi , pejungkir keadaan dimenit ujung pertandingan.

Meskipun bek terbang Dani Alves dan sayap memukau Di Maria adalah paket kumplit PSG di bingkai kiri lapangan, tak juga berhasil membuahkan goal dan assist mateng. 

Hanya eforia setelah goal cepat Lukaku, Eric Bailly, back kanan MU yang selalu naik keatas bak gelandang dimana Ashley Young  juga bercokol disitu, menjadikan mereka ruwet, disamping keduanya dibawah format semestinya. Inilah ruang kosong yang mampu dicolong oleh Bernat untuk menyamakan skor 1-1. Beruntung Bailly off kerna cedera di menit 36, dan disubstitusi Dalot, sehingga MU kembali ke format 4-3-3 nya dengan baik. 

"It's a blessing he got injured and had to come off." Begitu ceracap Bang Ferdinand, legenda defender berkaki besi MU.

Selanjutnya ya itu tadi, buat pecandu MU menit akhir adalah seni, art of football, the heart of stone, seperti disemberkan orang depan The Rolling Stones,  Mick Jagger.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun