Pertandingan Timnas Indonesia vs Singapura dalam laga Grup B Piala AFF 2018 di Stadion Nasional, Singapura, Jumat (9/11/2018) berakhir dengan skor 0-1. Garuda gagal mendulang poin di laga pembuka lantaran kebobolan oleh gol tunggal Harris Harun.
Timnas tidak bermain taktis dan sulit berkembang (litbang), ini seperti pertandingan anak rajin melawan anak malas, yang dimenangkan oleh anak yang rajin.
Pemain pemain Singapura terlihat rajin dan berlari terus tiada kenal lelah sampai akhir laga, rupanya pelatih Fandi Ahmad, sudah menyiapkan skuad nya dengan panjang nafas.
Meskipun menerapkan tipe permainan kuno tapi ternyata efektif juga. Penyerangan tim Singapura sangat sederhana, umpan ketengah manfaatkan backball kebelakang dan langsung eksekusi tendangan pemain lapis kedua. Itu yang terjadi pada goal tunggal Singapura, mengingatkan sepakbola era 70 dan 80 an. Era keemasan Fandi Ahmad (1982-83) saat menjadi penyerang yang massif dan stylist, juga ganteng dan baik hati, disaat keemasan klubnya, Niac Mitra Surabaya yang merajai liga Galatama saat itu.
Skill individu dan imaginasi penyerang Singapura bukan kualifikasi striker berbahaya, Ikhsan Fandi Ahmad ataupun Harris Harun sebenarnya beda level dengan Lilipaly atau Beto,Â
Jadi apa keunggulan tim Singapura? Dengan pola 3-6-1, Singapura tidak hanya memainkan zona tengah atau bertahan, ternyata mereka memainkan system pressing zone, yang kelihatan fleksibel dan berhasil. Kombinasi pressing option, pressing position atau pressing space (ruang), berhasil memutus antar lini belakang- tengah dan tengah -- depan Timnas Indonesia, sehingga menjadikan permainan timnas sulit berkembang.Â
Hal ini dilaksanakan tim Singapura dengan disiplin dan semangat yang tinggi sampai selesai pertandingan. Dan tentu saja sangat menguras stamina, namun tidak terlihat timnas Singapura kedodoran atau menggeh menggeh. Kelihatannya persiapan fisik mereka enggak main main dan ini diluar dugaan, mereka masih bugar saat merayakan kemenangan.
Sementara Timnas Indonesia, tidak segera memanfaatkan celah dari pressing zone Singapura. Adalah tugas Evan Dimas (lini tengah-depan) atau Rizky Pora (lini belakang-tengah). Kelemahan pressing zone adalah blind side, atau sisi yang tak tampak yang mesti bisa dimanfaatkan pemain sekelas Evan Dimas.Â
Namun ini, harus dipahami oleh pemain lain, bahwa Evan Dimas harus dipercaya sebagai jangkar, pivot dan pembagi bola sekaligus. Mestinya pelatih Bima Sakti, yang sudah familiar dengan peran ini dimasa keemasannya, otomatis akan memakai skema ini, sedikit mengherankan nih! Apa mungkin rancu atau ewuh pakewuh dengan warisan Luis Milla? I don't know,man.
Jika Evan diperankan seperti itu, maka jika serta merta tiga atau empat pemain Singapura yang kerjaanya pressing position, akan mengepung atau terhisap oleh Evan Dimas, jadi tinggal Evan Dimas melihat blind side nya untuk melepas bola. Saya pikir inilah kelebihan yang biasanya diperlihatkan seorang Evan Dimas. Tapi sayang seribu sayang tidak dijalankan. Harusnya biarkan  atau relakan Evan Dimas jadi jendral lapangan.
Seperti itu loh, siapa tuh pemain Barcelona? Cesc Fabregas ya, Â saat berkiprah di Barcelona. Dia selalu disuruh pelatihnya begitu dalam menghadapi lawan yang memakai pressing zone.