Menit ke 34, sepak pojok Antoine Griezmann melesat ke kepala Matuidi, dan sundulannya melebar dari tiang gawang. Kemudian bola melesat ketangan Perisic. Para pemain Perancis  berteriak handsball. Wasit bongsor Argentina, Pitana menunjuk sudut lapangan, meskipun diprotes para pemain Perancis, semula dia bergeming. Memang itu terlihat handsball. Tapi bola menyentuh tangan dalam posisi natural. Nggak tau deh, kita lihat aja.  Pitana pun akhirnya mengisyaratkan kotak dengan kedua tangannya, itu artinya yuk nonton VAR.
Boss Pitana pun menghampiri dan menatap kotak VAR. Lamaaa banget. Penalti! Katanya. Dan sejak dari keputusan ini lahirlah suatu debat massif mengenai kotak ajaib VAR ini. Kotak yang bisa menggambarkan kejadian dilapangan yang memang kejadiannya sudah seperti itu. Ngapain diplototin lagi. Absurd! Lagian VAR digunakan sebagai test perdana yang diaplikasikan langsung di final world cup, yang mana seharusnya mulai disosialisikan lebih dahulu ke laga laga level dibawah world cup.Â
Kami respek kepada VAR, kata manager gemulai Kroasia Zlatko Dalic. Jika kamu bermurah hati, itu bagus tapi jika kamu sedang tidak bermurah hati, itu buruk.
Itu tanda bahwa, VAR tidak mengubah apa apa, VAR hanya memperparah waktu agoni, menanti kesengsaraan.
Kami tidak menyesalinya karena kami adalah team yang lebih baik dari sekian banyak laga ini, kata Luka Modric, yang dianugerahkan Bola Emas sebagai pemain outstanding. Sayang, beberapa goal yang janggal merobah jalan kami.
Pasti ada pesta bagi team kami, tapi kami enggak bisa menegakan kepala lebih tinggi. Luka perih.
Perancis selalu menang dengan cara yang sama, yaitu kerjakan yang mesti dilakukan seperti di enam pertandingan sebelumnya. Hindari musuh jika perlu, lalu bunuh jika ada kesempatan.
Pasukan Perancis sudah merupakan satu keluarga single parent, yaitu papa Deschamps mildfilder tim Perancis 1998 sebagai kepala keluarga. Bagi tim Perancis muda ini, dia menjadi figure ayah, pembimbing tangan dikemudi anak anaknya, Â berbaris lurus sesuai metoda menuju kemenangan untuk anak anak yang penurut.
Namun Perancis mencapai juara dunianya. Setelah melewati taktik yang detil, kerja keras, disiplin baja dan sesekali memanfaatkan bakat  cemerlang striker belia Kylian Mbappe, mildfielder ongklan ongklang Paul Pogba dan penahan penahan kokoh N'Golo Kante, Raphael Varane dan Samuel Umtiti.
Mungkin Perancis bukanlah sebuah tim yang luar biasa. Sebuah tim dengan pemain berbakat top class rela mengorbankan kemampuan indivindunya menjadi misi kolektif. Sebuah tim yang percaya diri menyurutkan kejagoannya melawan tim yang lebih lemah untuk kemudian menerkamnya dengan serang balik. Sebuah tim yang sanggup mencipta gol yang hebat namun bisa menerima apapun yang diputuskan permainan.
Ini terlihat ketika status score 4-1 untuk Perancis dan di menit ke 69 Mario Mandzukic mementalkan bola tendangan kiper Lloris masuk kejalan Perancis sendiri. Â lalu Perancispun cepat melakukan regrouping bertahan, menunggu, memainkan bola selfie mengekspresikan tekanan kemenangan sebelum peluit selesai, kepada Croats.