Belum begitu lama kita di sentak pula dengan OTT Walikota Tegal bunda Sitha, setelah sebelumnya OTT bapak Antonius Tony Budiono Dirjen Perhubungan Laut. Sementara primadona kasus hot korupsi KTP-el masih terus berlangsung di ranah hukum mulai  diikuti  rentetan adegan menarik  antara KPK dan DPR yang semakin merupa sinetron, menjaga ritme daya tarik penontonnya.
Namun di balik semua skenario atau script ceritanya, hal yang tetap menarik yang menjadi ukuran publik adalah besarnya jumlah duit atau fulus yang digondol sang koruptor.
Korupsi KTP-el di state dengan uang yang ditilep adalah sebesar 2,3 triliun, bapak Tony menilep 20 milyar dan bunda Sitha menilep 300 juta. Sebenarnya ada juga di komplek kami abang pembersih sampah ketahuan menerima gratifikasi dari urunan isteri saya dan isteri isteri tetangga sebesar 1 juta.
Jadi kalo di tabelkan dan kueh pai diagramkan seperti dibawah ini nih.
Dari table atau diagram kueh pai diatas terlihat secara gradasi atau perbandingan bahwa jumlah korupsi Dirjen Hubla, Walikota Tegal dan Tukang Sampah bukan apa apa dibanding korupsi  KTP-el (99,1%), alias no meaning.  Jika di urut berjenjang, korupsi Dirjen Hubla hanya sebesar 0,87% dari Korupsi KTP-el, korupsi Walikota Tegal hanya sebesar 1,5% dari korupsi Dirjen Hubla, serta  korupsi Tukang Sampah hanya 0,33% dari korupsi Walikota Tegal.
Jadi menurut aku, dari data diatas, ngapain juga KPK nguber nguber korupsi yang nominalnya kecil, seperti Walikota Tegal, kasih saja institusi lain seperti kejaksaan atau polisi, jadi KPK konsentrasi korupsi kakap ajah. Kalo maksain jadi absurd. Kalo mau pemberantasan korupsi bertujuan seperti di undang undangnya diikuti ansich, bisa napsu besar tenaga kurang. Bisa saja uang yang dihabiskan untuk lidik dan sidik dan tuntut untuk kasus korupsi yang  kecil, lebih besar, atau sama, atau lebih kecil dari kasus korupsi yang besar, jadi nggak menentu dan tidak ada standar secara kuantitas anggaran.
Menurutku KPK harus jelas, pintar dan strategis dalam menangani korupsi, kalo perlu buang saja tugas tugas sebagai agen pencegahan, ini bikin rancu dan nggak fokus. Pencegahan biar tanggung jawab institusi atau badan usaha pemerintah yang bersangkutan saja, mau gimana hasilnya terserah mereka. Kalo KPK bertugas mencegah, dengan cara apa? Sosialisasi, seminar, simposium? Enggak akan efektif, yang korupsi bejibun sedang pasukan KPK sedikit.
 Kita memang maunya terlalu banyak dan ideal sampe nggak masuk di otak. KPK mending khusus penindakan, special forces, kuat dan tidak gampang menangis atau digertak, tidak curhatan dan senyap, jadi ada wibawanya dan angker, bukan superbody, emangnya bodyguard. Karena apa, karena korupsi itu extraordinary crime, kejahatan ruar biasa yang sudah disepakati oleh hukum beserta perangkat hukum yang menyertainya. Ya enggak?
Jadi tugas KPK sesuai dengan undang undang nomor 30 tahun 2002, yaitu koordinasi, supervisi, penindakan (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan), dan pencegahan, terlihat terlalu ambisius dan bernafsu. Barangkali saat memproduksi undang undang ini kita berada pada kadar emosional yang tinggi melihat korupsi demikian masif dan juga biar disebut jenius dengan produk undang undang yang serba komplit, yang malah mempersulit  dalam pelaksanaanya. Barangkali kita termasuk bangsa yang senang membuat aturan yang lebih lengkap dari apa yang dibutuhkan. Biar keren? Ah..
Demikian halnya tugas supervisi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (tpk), ngapain juga melakukan supervisi ke instansi yang umurnya sama tuanya dengan usia negara, nggak praktis dan banyak kendala hukum dan unggah ungguh kulonuwun yang malah menguras energi dan berpotensi konflik.
Jadi KPK mestinya tampil sebagai Komisi Penindakan Korupsi yang signifikan bisa merecover secara konkrit duit rakyat yang ditilep abdi negara, itu aja dulu. Bisa di masukan sebagai KPI utama dan dipublikasikan ke masyarakat dengan acknowledge department terkait seperti keuangan dan presiden mungkin, ini merupakan driving force yang paling masuk akal dan popular ketimbang publikasi  hal hal mengenai korupsi, road show selebritis, atau show off komunitas  dan lain sejenisnya yang tidak efektif. Kan, perkara pencegahan korupsi  ini sudah kita ketahui bersama bahwa merupakan domain pemerintah pusat/daerah untuk menerapkan sistem adminstrasi yang mencegah kontak langsung yang menjadi celah korupsi, sehingga kalau sudah ada KPK tapi korupsi makin merajalela itu bukan dosa  KPK.