Blusukan bukan hanya jadi kegemaran Jokowi, kamipun demikian, apalagi bila dilokasi tersebut menyimpan harta karun terpendam, seperti di kawasan pasar lama Tangerang, yang memiliki Museum Benteng Heritage dan aneka penganan pasar yang menggugah selera. Minggu pagi dengan menggunakan angkutan kota, kami berenam sudah diperjalanan menuju pasar lama tangerang. Tak terlalu sulit ternyata, cukup berdiri di pinggir jalan cikokol, Tangerang, dan para supir akan dengan lantangnya menawarkan tujuan angkotnya, hingga akhirnya kami menaiki angkot dengan tujuan pintu air, dan kami turun persis di pertigaan pasar lama. Kami menyusuri kali Cisadane yang memiliki peran sejarah sebagai jalur masuknya masyarakat tionghoa di kawasan Tangerang dan menghuni sepanjang kali Cisadane, hingga sekarang kawasan ini kondang disebut sebagai kawasan Cina Benteng. Kenapa ada kata 'Benteng' ?? Konon pada masa kekuasaan VOC sekitar tahun 1684, di kawasan ini berdiri benteng yang merupakan pertahanan batavia dari serangan KerajaanBanten. Berjalan santai memasuki pasar di gang yang sempit dan ramai dengan pedagang. Selain menjual aneka makanan mentah, mudah juga dijumpai makanan yang siap santap, seperti kue-kue basah yang lezat, yang membuatku mampir dan membungkus beberapa kue untuk buah tangan. Di tempat lain kami mampir di toko penjual penganan yang menjual asinan khas tangerang, ada asinan sayur dan buah, lagi-lagi aku membungkus untuk buah tangan, selain itu juga tersedia kue khas lainnya, seperti kue bulan, bacang, kecap benteng, dan makanan lain. [caption id="attachment_265605" align="alignnone" width="640" caption="Klenteng Boen Tek Bio - Dok. Pribadi"][/caption] Ditengah ramainya pasar, terdapat klenteng Boen Tek Bio. Klenteng tertua di Tangerang yang konon dibangun 1684. kami sempatkan untuk mempir, melihat indahnya bangunan yang didominasi warna merah. Siang ini klenteng terlihat ramai masyarakat yang beribadah. Dengan tak mengganggu kegiatan ibadah, kami memasuki klenteng, dan mengunjungi tiap bilik yang didalamnya terdapat Kong Cho yang dihormati.
Waktu menunjukkan pukul sebelas, dan akhirnya kami mengunjungi tempat yang menjadi tujuan utama kami blusukan di Pasar Lama Tangerang, yaitu Museum Benteng Heritage. Berlokasi persis d belakang los ikan, Museum Benteng Heritage tersembunyi. Mengingat ramainya pasar dipagi hari, Museum Benteng Heritage buka jam 11.00 di akhir pekan dan jam 13.00 di hari kerja, karena pada jam tersebut, pasar sudah cenderung sepi pengunjung. [caption id="attachment_265607" align="aligncenter" width="360" caption="Museumnya dibelakang los ikan"]
[/caption] Museum Benteng Heritage merupakan
museum peranakan pertama di Indonesia, padahal bila di perhatikan sejarah peranakan di Indonesia, seharusnya ada banyak tempat lain yang layak untuk membuat museum peranakan seperti di Lasem, Jawa Tengah, namun karena tekanan negatif pada masyarakat peranakan, sehingga sejarah dan budaya peranakan tak banyak di ketahui di Indonesia. Membuat Museum Benteng Heriage merupakan ide murni dari Bpk. Udaya Halim, pemilik Museum. Dari keinginan untuk menghidupkan kembali kenangan indah semasa kecil, pak Udaya Halim membeli dua dari tiga petak rumah khas peranakan yang masih asli di Pasar Lama Tangerang yang berlokasi persis di depan rumah masa kecilnya, dan merestorasi rumah tersebut agar kembali kemegahannya dan layak dijadikan museum. [caption id="attachment_265608" align="alignnone" width="640" caption="Museum Benteng Heritage tampak muka"]
[/caption] Memasuki Museum Benteng Heritage, kami disambut oleh seorang kokoh ganteng yang bertugas, dan kami beruntung, karena tak lama kami menunggu, Pak Udaya Halim pun datang, karena kebetulan ada tamu yang juga menunggu beliau, sehingga dengan keberuntungan yang tak sirna, kami diperbolehkan bergabung bersama tamu beliau untuk mendapatkan cerita perihal Museum Benteng Heritage dan sejarah peranakan di tangerang. [caption id="attachment_265612" align="alignnone" width="640" caption="ruang muka museum benteng
heritage"]
[/caption] Cerita bermula dari ruang depan, yang terdapat beberapa koleksi piala/penghargaan yang diperoleh pak udaya atas upaya beliau menghidupkan museum dan merestorasi bangunan peranakan. Pak Udaya juga menceritakan beberapa lukisan yang di lukis ulang dari koleksi photo ayah pak Udaya yang menggambarkan suasana di lingkungan Museum Benteng Heritage pada masa pak Udaya kecil. [caption id="attachment_265610" align="alignnone" width="640" caption="mendengar dengan tekun cerita pak Udaya"]
[/caption] Cerita berlanjut di ruang tengah. Ruang yang sejuk dengan sirkulasi udara yang mengalir, berkat vide yang tengah dan jendela di belakang serta taman kecil disamping. Pak Udaya kembali melanjutkan cerita mengenai sejarah kedatangan warga Tionghoa di Tangerang yang berkaitan erat dengan ekspedisi Cheng Ho ke Tuban - Jawa Timur. Cerita pak Udaya berlanjut dengan bagaimana awalnya pembauran orang Tionghoa pertama dengan masyarakat lokal, yang menghasilkan keturunan cina yang tak lagi putih dan sipit, tapi berkulit lebih coklat dan bermata lebih bulat, bagaimana budaya yang dibawa dari daratan cina mampu bertahan dan diterima masyarakat lokal, dan bagaimana masyarakat yang dikenal dengan Cina Benteng mampu bertahan hingga sekarang, dan semua cerita itu mampu membuat kami bertahan mendengarkan selama hampir tiga jam tanpa bosan. [caption id="attachment_265609" align="alignnone" width="640" caption="Photo bareng pak Udaya Halim"]
[/caption] Selain mendengar ceritanya, kami pun diantar berkeliling, melihat koleksi museum, salah satunya koleksi 'timbangan' yang menjadi kegemaran pak Udaya, teras yang indah, pakaian khas peranakan, bahkan sepeatu milik wanita berkaki mungil yang ternyata sempat ada di Tangerang. dan tak ketinggalan beliau menjelaskan cerita dibalik hiasan cantik pada vide atas. Tak terasa, dari kami masuk museum jam 11.00 kami meninggalkan museum jam 15.00, walau museumnya kecil, tapi banyak ceritanya. Kami meninggalkan Pasar lama dengan membawa penganan khas pasar lama sebagai buah tangan, dan sebelum pulang kami sempatkan makan siang yang terlambat berupa seporsi ayam bakar lezat dan menutupnya dengan es podeng segar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya