Mohon tunggu...
Elvi Bandanaku
Elvi Bandanaku Mohon Tunggu... Lainnya - freelance

simple, single and happy, chubby, lite traveller, heritage lover, cycling foldingbike\r\nbandanaku.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Wisata Sejarah Polpot yang Bikin Merinding, Phnom Penh - Cambodia

5 Juni 2012   11:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:22 2604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisata sejarah merupakan salah satu yang paling saya gemari saat traveling ke suatu tempat, seperti kota Phnom Penh yang ternyata banyak sekali sejarahnya.  Kota yang pernah mengalami masa gelap selama 3 tahun 8 bulan 20 hari, demikian sebagaian warga yang selamat dari kekerjaman Rezim Polpot mengenangnya. Sebelum saya memulai perjalanan wisata sejarah, biasanya saya terlebih dahulu mencari tau apa yang terjadi melalui bantuan om google, sehingga saat di lokasi saya tidak termangumangu bodoh saat melihat-lihat tempat bersejarah tersebut. Kami memulai perjalanan napak tilas mengenai Polpot dengan mengunjungi 'The Killing Field',  diantar oleh sebuah tuktuk yang kami carter seharga USD 20 untuk seharian mengantar ke beberapa tempat wajib kunjung di kota Phnom Penh, dan beruntung mas tuktuknya yang bernama 'Mao' pandai berbahasa inggris. [caption id="attachment_185940" align="alignnone" width="640" caption="mas Mao dan tuktuknya"][/caption] The Killing Field sekitar 15 km baratlaut (southwest) di luar kota Phnom Penh, perjalanan menuju ke lokasi lumayan jauh, melewati suatu kawasan seperti kawasan industri yang banyak container besar lewat dan jalan yang cukup mengguncang dan berdebu sehingga kami harus melindungi saluran pernapasan kami dengan sehelai saputangan atau tissu. Sesekali tampak turis yang lewat mengendarai tuktuk, sepertiny a mereka baru kembali dari lokasi The Killing Field Setibanya di lokasi, banyak terlihat tuktuk parkir, dan cafe2 sederhana yang sudah ramai pengunjung wisatawan mancanegar dan kami diantar langsung di muka gerbang. Setelah janjian untuk menunggu, dan kami akan kembali 1 jam lagi, mas Mao pun meninggalkan kami. Untuk memasuki 'The Killing Field - The  Choeung ek Genocidal Center ' bagi pengunjung mancanegara dikenakan biaya USD 3, dan kami di beri brosur dengan segala bahasa, dan kami memilih bahasa Inggris dan Melayu (sekedar mau tau aja kalo terjemahan bahasa melayunya apa, tp ternyata malah lebih sulit mengerti bahasa melayu dibanding bahasa inggris :p ). Untuk memudahkan memahami tempat2 di area the Killing Field, pihak pengelola menyediakan falilitas audio tour bagi wisatawan, sehingga tidak perlu menyewa guide yang mengantar, cukup mengenakan audio tour berupa walkman kita sudah tercukupkan informasi dan cerita mengenai The Killing Field. [caption id="attachment_185944" align="alignnone" width="640" caption="map the Killing Field"]

13388949542052489635
13388949542052489635
[/caption] [caption id="attachment_185947" align="alignnone" width="480" caption="brosur segala bahasa"]
133889535555121354
133889535555121354
[/caption] Dengan berbekal brosur yang berisi informasi dan denah The Killing Field, kami mulai berjalan, setiap ada petunjuk/ angka kami langsung melihat denah dan keterangan di brosur, suasana di area The Killing Field sangat syahdu, hening, karena memang dilarang berisik, setiap orang sibuk membaca informasi atau mendengarkan audio tour sambil berjalan pelan mengelilingi area, dan melihat lubang2 ditemukannya korban serta photo-photo yang memajang temuan kerangka2. [caption id="attachment_185949" align="alignnone" width="640" caption="membaca cerita kejadian"]
13388954442067302791
13388954442067302791
[/caption] [caption id="attachment_185950" align="alignnone" width="640" caption="poto saat penggalian massgrave"]
13388955242120804157
13388955242120804157
[/caption] Diantara seluruh area, yang paling menakutkan bagi saya adalah Killing Tree, tempat pembunuhan bayi dan balita dengan cara menghempaskan kepalanya pada batang pohon yang besar, melihat ilustrasi potonya sangat membuat dada sesak. Tempat terakhir dan menjadi monumen peringatan adalah memorial stupa. [caption id="attachment_185951" align="alignnone" width="480" caption="the killing tree"]
13388956201604247660
13388956201604247660
[/caption] [caption id="attachment_185952" align="alignnone" width="640" caption="ilustrasi the killing tree"]
1338895652550353077
1338895652550353077
[/caption] Sebuah bangunan tinggi yang di dalmnya terdapat rak bertingkat 19. di rak paling bawah berisi pakaian2 korban, lalu mulai dari rak pertama hingga 10 adalah tengkorak kepala yang telah di klasifikasikan berdasarkan umur dan jenis kelamin, dan sisa raknya adalah bagian kerangka lainnya, tak bisa di lihat siy, karena monumen ini ukurannya paspasan jadi tak bisa ramai di dalamnya. [caption id="attachment_185954" align="alignnone" width="480" caption="monumen peringatan"]
13388958381174368496
13388958381174368496
[/caption] [caption id="attachment_185956" align="alignnone" width="640" caption="kumpulan tengkorak"]
13388961192017929584
13388961192017929584
[/caption] Setelah berkeliling kami rehat sejenak di bawah pohon yang rindah lalu melanjutkan berkunjung ke museum yang tak jauh dari gerbang. Di dalam museum itu, terdapat beberapa poto pemimpin rezim khmer Polpot dan pengikutnya serta ilustrasi-ilustrasi pembantaian korban, buat saya beberapa gambar cukup mengerikan memperlihatkan kesadisan penyiksaan dan pembantaian. Di museum ini juga terdapat mini theater, dan kami berkesempatan untuk menonton film berdurasi 15 menit menceritakan masa suram dan penemuan korban dari Kampuchea Democratic. [caption id="attachment_185957" align="alignnone" width="640" caption="museum the killing field"]
13388961712013665904
13388961712013665904
[/caption] Siang itu hujan cukup deras, membuat kami agak tertunda melanjutkan perjalanan. Dengan tuktuk yang sekelilingnya tertutup rapat, kami melanjutkan menuju 'Genocide Museum S-21' Kami tiba di Genocide Museum Toul Sleng Former Office S.21 Kampucea Democratic, saat hujan mulai reda, suasananya jadi agak lembab. Di pintu masuk kami membayar USD 3 bagi wisatawan asing. Genocide museum ini awalnya merupakan sebuah sekolah menengah tempat Polpot mengajar, namun saat Kampucea Democratic berkuasa, sekolah ini di gunakan sebagai penjara dan tempat penyikasaan semacam camp konsentrasi bernama S.21 - Security Office 21 [caption id="attachment_185958" align="alignnone" width="640" caption="Peraturan bagi tawanan"]
1338896459705657299
1338896459705657299
[/caption] Entah kenapa, dari awal masuk suasana suram langsung terasa, hawanya beda dan saya tak merasa nyaman disini, tapi kami tetap masuk, dan mulai memasuki gedung pertama. Disini kami menumukan ruang2 kelas dengan sebuah ranjang besi, di dindingnya tergambarkan penyiksaan yang di lakukan di kelas ini. Melihat gambar di dinding saya langsung begidik dan takut, sehingga tak kuasa untuk memasuki kelas-kelas lainnya yang memiliki ranjang besi satu atau lebih dengan photo penyikasaan di dindingnya, saya lebih banyak di kooridor saja, menunggui adikku dan addi yang tetap masuk dan melihat gambar2 tersebut. Tiap gedung berlantai 3, sehingga walau dengan suasana suram kami tetap naik hingga lantai 3. suasana yang suram dan hawa lembab setelah hujan sunggu menambah saya tidak nyaman untuk berlama-lama di museum ini. [caption id="attachment_185959" align="alignnone" width="640" caption="ruang penyiksaan"]
13388970231273367042
13388970231273367042
[/caption] Selanjutnya kami berpindah di gedung kedua, di antara kedua gedung ini terdapat tiang yang dulu sewaktu masih sebagai sekolah mungkin di gunakan untuk berlatih senam, namun oleh petugas S21 di gunakan untuk menyiksa korban dengan cara menggantung tanggannya dan mencelupkan kepala korban agar cepat sadar. Memasuki gedung kedua, kami menemukan foto-foto dan data korban. Ternyata setiap korban terdata dengan baik, berupa biodata dan foto, bahkan saat korban meninggalpun ada potonya. Dari pria dewasa, tua, wanita bahkan anak-anak dan bayi terdata dengan lengkap. [caption id="attachment_185960" align="alignnone" width="480" caption="ilustrasi penyiksaan di tiang"]
13388970821365991150
13388970821365991150
[/caption] [caption id="attachment_185961" align="alignnone" width="640" caption="photo korban anak2"]
13388971762092201210
13388971762092201210
[/caption] Selanjutnya adalah gedung ketiga yang merupakan penjara. Gedung ini di lapisi kawat berduri dan disinilah sel-sel penjara di buat di dalam ruang-ruang kelas. Tiap lantai di gedung berduri ini terlihat bermacam sel, ada yang terbuat dari batubata dan kayu. Sel-sel ini dibuat individual bagi korban, dan di kondisikan agar korban tidak dapat bunuh diri. [caption id="attachment_185963" align="alignnone" width="640" caption="pintu kawat berduri"]
1338897231801556900
1338897231801556900
[/caption] [caption id="attachment_185965" align="alignnone" width="480" caption="sel individu bersekat kayu"]
1338897283847798187
1338897283847798187
[/caption] [caption id="attachment_185966" align="alignnone" width="640" caption="kawat berduri dan lorong koridor"]
13388973151976920302
13388973151976920302
[/caption] Selanjutnya di gedung terakhir yang hanya terdiri dari 2 lantai berisi beberapa poto ilustrasi dan semacam ruang doa, juga terdapat profil beberapa pemimpin Kampucea Democratic. Akhirnya tuntas kami menyelesaikan keseluruhan gedung di museum ini, sekitar 1 jam waktu yang kami perlukan, itupun kami tak terlalu berlama-lama karena saya dari awal masuk sudah merasa tak nyaman di area museum ini. Saya salut kepada pemerintah dan Tourism Board negara Cambodia dalam mengemas paket wisata sejarah Polpot ini, sehingga menjadi daya tarik wisatawan mancanegara untuk mengunjunginya. Sebenarnya bagi saya orang Indonesia, mendengar cerita kekejaman masa lalu sudah sering, seperti cerita PKI dan pemberontakan lainnya, namun satu-satunya tempat wisata sejarah yang saya tahu hanya museum Kesaktian Pancasila dengan lubang buaya dan deoramanya yang cukup bikin saya merinding juga. Bila saja dikemas dengan lebih baik, bukannya bisa bisa menjadi salah satu tujuan wisata ya, walau agak seram tapi menarik untuk di kunjungi.
13388973621695339890
13388973621695339890
Nb. Jujur, hingga saat sekarang saya menuliskan cerita ini dan kembali melihat foto-fotonya, saya masih ngeri. -vii-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun