Bertandang ke Air Terjun Kali Pancur, di Desa Nogosren, Getasan, Kabupaten Semarang pada hari biasa, mungkin bukan sesuatu yang istimewa. Namun, bila hal ini dilakukan di bulan suci Ramadhan, ketika tengah menjalani ibadah puasa, itu baru luar biasa. Inilah yang kami lakukan, sore tadi, selain menguji nyali juga menjajal stamina.
Selasa (28/6) siang, mantan kekasih menyodorkan tantangan untuk mengunjungi Air Terjun Kali Pancur sembari menunggu waktu berbuka. Kalau tantangan diajukan 10 atau 15 tahun yang lalu, mungkin tak istilah mengelak. Namun, yang disodorkan saat usia kami sudah di atas 50 tahun, tengah menjalani puasa lagi. Kendati begitu, tidak ada salahnya dilayani sekalian ngetes stamina di usia yang mulai menua.
Air Terjun Kali Pancur dilihat dari pintu masuk (foto: dok pri)
Sekitar pk 15.00, kami berangkat menuju lokasi yang berjarak sekitar 14 kilometer. Tak butuh waktu lama, hanya berkisar 30 menit sudah tiba di lokasi. Usai membayar restribusi sebesar Rp 3.000 perorang, kami pun memasuki kawasan air terjun yang pemandangannya sangat luar biasa. Yang membuat ciut nyali,
track ke tempat jatuhnya air sungguh membuat gamang. Jalur sepanjang 900 meter dengan 800 an anak tangga selebar 1 meter, benar- benar menjadi tantangan tersendiri.
Sejak kaki mulai memasuki di pintu masuk, terasa sekali bahwa destinasi wisata alam ini sangat tidak terurus. Toilet yang berjumlah 6 pintu, kondisinya amat menyedihkan. Temboknya penuh corat coret, airnya kering dan aroma pesing langsung merasuk ke lobang hidung. Tak ada penjaga atau karyawan yang terlihat, seakan sengaja dibiarkan terbengkalai.
Begini kondisi toiletnya (foto: dok pri)
Baru berjalan 20 an meter, air terjun yang jatuh dari ketinggian 150 meter sudah terlihat.
Wow! Sungguh sangat luar biasa. Air itu terjun bebas melalui ngarai yang merupakan bagian gunung Telomoyo. Untuk merasakan sensasi butiran- butiran air yang pecah di udara, maka kaki harus dipaksa melangkah pada
track yang menurun tajam. Untungnya jalan dibuat menyerupai anak tangga, sehingga memudahkan pejalan kaki menuju lokasi.
Begini tracknya (foto: dok pri)
Uji Stamina yang SebenarnyaHanya butuh waktu lima menit untuk menempuh separuh jalan, di sebuah bangunan yang jelas tak terurus, pemandangan yang terlihat semakin menawan. Air yang berwarna putih, meluncur melewati tebing batu andesit. Berada di antara lembah kaki gunung Telomoyo, tak pelak udara yang terhembus mirip berada di ruang berpendingin udara. Ada kesejukan alami di sini, tentunya sesuatu yang langka bagi masyarakat perkotaan.
Kendati di awal tahun 2016 lalu pernah mengunjungi tempat ini, namun, beragam pepohonan tak membuat mata bosan. Dari tengah track, terlihat gunung Gajah Mungkur, Banyubiru dan perairan danau Rawa Pening. Penasaran dengan apa yang ada di bawah, kami pun langsung meneruskan langkah kaki. Menuruni anak tangga yang semennya sudah mulai berlobang. Kentara sekali, tidak ada perawatan akses ke titik jatuhnya air.
Bangunan di tengah perjalanan yang terbengkelai (foto: dok pri)
Hanya butuh waktu lima menit, akhirnya tiba di bawah air terjun. Sulit menggambarkan keindahannya, air yang mengalir jernih khas pegunungan, serasa segar ketika untuk membasuh wajah. Tak tercium aroma kaporit seperti yang biasa terjadi pada air produksi PDAM. Hampir satu jam di sini, rasanya jarum jam cepat sekali berputar. Ketika pk 17.00, kami pun memutuskan pulang. Pasalnya, situasi terlihat agak gelap.
Tiba di bawah, air terpecah (foto; dok pri)
Baru sekitar 50 meter berjalan menapaki tangga semen yang memiliki sudut kemiringan 70 derajat, paha sudah terasa pegal. Padahal,
track pendakian menuju pintu gerbang masih 850 meter. Inilah uji stamina yang sebenarnya, bila kondisi tubuh kurang fit, alamat
knock out oleh alam. Perlahan tapi pasti, akhirnya setengah perjalanan terlewati. Butuh waktu 15 menit guna mencapai jarak 450 meter. Lucunya, saat kami terseok- seok, seorang pria memanggul rumput basah yang diperkirakan beratnya 25 kilogram, enak saja menyalip kami.
Mantan kekasih ngebut (foto: dok pri)
Setelah sempat beristirahat 5 menit dan berbincang dengan pria setengah baya pencari rumput, kami pun melanjutkan pendakian. Mantan kekasih, staminanya boleh juga. Tak ada keluhan sedikit pun, bahkan berulangkali tancap gas di depan. Sekitar 50 meter menjelang pintu masuk, terdengar suara azan, tanda berbuka. Karena warung- warung yang ada sudah tutup, akhirnya kami berbuka di salah satu warung kelontong di Desa Nogosaren. Saat es teh membasahi kerongkongan, rasanya
duhhh mirip seorang musafir di padang pasir yang menemukan mata air.
Lihat Travel Story Selengkapnya
Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!
7 bulan yang lalu