Triyaningsih Dengan Merah putih Di Tubuhnya (Foto: dok.kompas.com)
Triyaningsih, gadis berumur 28 tahun yang bertubuh mungil, berkulit sawo matang dan besar di kota Salatiga ini, rupanya memiliki nyali sekaligus daya juang melebihi berat tubuhnya. Terbukti, prestasinya di bidang atletik , khususnya di nomor lari jarak menengah / jauh mampu melibas pelari lainnya di Asia Tenggara.
Berkat sosok Triyaningsih ini, lagu Indonesia Raya kerap berkumandang di berbagai event internasional. Ia memang pejuang di masa damai, lewat dua kakinya yang kokoh, dirinya mampu meredam kemampuan pelari- pelari manca negara. Lewat dua kakinya pula, dia menorehkan prestasi yang menggiurkan.
Siapa sebenarnya Triyaningsih ? Ia sebenarnya hanyalah seorang anak kecil biasa, lahir di dusun Batok, Cangkiran, Mijen, Kota Semarang tanggal 15 Mei 1987. Kebetulan dirinya adalah adik kandung Ruwiyati, pelari marathon yang pernah memecahkan rekor SEA Games di Chiang Mai Thailand tahun 1995. Ruwiyatilah yang menjadi inspirasinya untuk menjadi pejuang bangsa di olahraga.
Adalah Alwi Mugiyanto orang pertama yang menemukan Triyaningsih, sekaligus memolesnya menjadi atlet internasional. Alwi yang merupakan pelatih Klub Atletik Locomotive Kota Salatiga. Alwi (biasa disapa begitu) adalah orang “gila “ yang menghabiskan nyaris sepanjang hidupnya untuk menggeluti atletik. Dari lomba- lomba lari tingkat kelurahan di tahun 1990 an, menjelang tahun 2000 an atlet- atletnya sudah Berjaya di level nasional.
Alwi yang meninggal tahun 2012, kebetulan menjadi pelatih Ruwiyati saat usia Triyaningsih masih balita. Hingga usia Triyaningsih memasuki 12 tahun, gadis dengan tinggi 147 cm itu diboyongnya ke Salatiga. Kendati nalurinya sebagai pelatih mengatakan Triyaningsih memiliki potensi sebagai pelari jarak menengah dan jauh (marathon), tetapi awal berlatih, Alwi selama tiga bulan hanya dilatih di nomor jalan cepat. Bukan tanpa sebab hal itu dilakukan, permasalahannya, Alwi ingin bibit unggulnya bisa menyerasikan gerakan tangannya terlebih dulu.
“Saya tak mau sembarangan memolesnya. Agar otot- otot kakinya tidak kaget, saya selama tiga bulan harus melatihnya berjalan cepat,” kata Alwi semasa hidupnya yang kebetulan saya kenal sejak tahun 1985 ini.
Mulai Berprestasi
Menjalani rutinitas latihan yang menjemukan, rupanya tak membuat Triyani yang saat itu masih kelas I SMP merasa bosan. Hingga tiga bulan berlalu, ia mulai diarahkan ke nomor 10 kilo meter (10 K). Selama tiga bulan berlatih di nomor jarak menengah, ternyata prestasi Triyani membuat pelatihnya terkesima. Ketika diturunkan di lomba lari 10 K di Bukittinggi mau pun 10 K di Riau, ia berhasil mengalahkan atlet- atlet pelatnas SEA Games dan menyabet juara 1.
Usai memenangkan berbagai lomba 10 K, Alwi mulai berani menurunkan Triyaningsih di event nasional. Bisa dikatakan, nyaris semua event nasional sudah dilahapnya. Untuk nomor 5.000 dan 10.000 meter, praktis dirinya tak mempunyai lawan. Untuk itulah, Alwi mulai berfikir mengirim Triyaningsih ke hajatan olahraga internasional. Sayang, faktor usia yang masih terlalu muda, belakangan membuat Alwi berfikir dua kali. “ Saya khawatir ia cedera,” ungkapnya singkat.
Hingga usianya menginjak 16 tahun, Alwi nekad memasukkan Triyaningsih ke dalam barisan atlet SEA Games di Vietnam yang berlangsung tahun 2003. Kendati berada di urutan keempat, namun ia berhasil memecahkan rekornas di nomor 5.000 meter dengan catatan waktu 16 menit 21 detik. Maklum, saat itu mental dan nyalinya belum siap bertarung melawan pelari- pelari Asia Tenggara. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 2005, ia sebenarnya masuk kembali ke Pelatnas SEA Games, sayang karena dianggap kurang disiplin, namanya dicoret PB PASI.