Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tradisi Padusan di Sendang Senjoyo yang Melegenda

6 Juni 2016   03:46 Diperbarui: 6 Juni 2016   11:58 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meski sudah jelang sore masih banyak yang berendam (foto: dok pri)

Padusan atau mandi keramas dengan maksud penyucian diri sehari sebelum menjalankan ibadah puasa, sepertinya sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam. Begitu pun yang terjadi di Sendang Senjoyo, Desa Tegalwaton, Tengaran, Kabupaten Semarang yang sarat lagenda. Minggu (5/6) dijejali ratusan orang yang hendak membersihkan diri, berikut catatannya.

Padusan yang berasal dari kata adus (mandi), artinya merupakan membersihkan diri agar dapat menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan. Pengertian membersihkan diri, tentunya meliputi mandi sekaligus keramas guna menghilangkan hadast besar dan kecil. Sebenarnya ritual padusan bisa dilakukan di mana pun. Kendati begitu, banyak warga yang memiliki tempat-tempat khusus, salah satunya Sendang Senjoyo.

Tetap berjubel do sore hari (foto: dok pri)
Tetap berjubel do sore hari (foto: dok pri)
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, kemarin siang hingga sore hari, Sendang Senjoyo dipadati ratusan orang. Tua-muda hingga anak-anak bercampur baur, sementara pihak Desa Tegalwaton sendiri ikut memeriahkan dengan pagelaran reog. Kompensasi mengikuti tradisi ini, setiap orang harus membayar bea masuk sebesar Rp 5.000. Dua jalan utama yang merupakan akses menuju mata air dijaga rapat oleh panitia didampingi anggota ormas keagamaan yang lumayan galak.

Para anggota ormas berpakaian doreng dan panitia bertindak sebagai filter bagi pengunjung. Setiap kendaraan bermotor yang berboncengan langsung diminta membayar Rp 10.000,00 sedangkan mobil dihitung penumpangnya. Saya sendiri berhasil lolos karena berdalih hanya sekedar lewat kendati sebelumnya sempat diperintahkan untuk memutar balik. Aduh! Baru jadi anggota ormas saja galaknya melebihi aparat keamanan, terus bagaimana kalau benar-benar menyandang predikat aparat?

Berendam Rp 5.000 (foto: dok pri)
Berendam Rp 5.000 (foto: dok pri)
Hingga tiba di lokasi, karena waktu sudah memperlihatkan pukul 17.00 (sepulang dari Purworejo), jumlah orang yang menggelar ritual padusan di sendang telah menurun drastis. “Sejak pagi sudah penuh, Pak. Ini sudah sore ya pengunjung yang padusan telah berkurang,” kata salah satu pedagang makanan.

Kendati begitu, masih terlihat ratusan orang lalu lalang. Sementara yang berada di dalam sendang hanya berjumlah puluhan. Banyak yang usai menggelar ritual padusan malah ber-selfie di pinggiran pemandian. Sedang di bumi perkemahan, ratusan orang masih berkumpul menyaksikan pertunjukan reog. Begitu pun bunyi tetabuhan reog yang disalurkan melalui pengeras suara, terdengar nyaring bersahutan.

Salah satu pengunjung mengaku bernama Budi Haryanto, warga Desa Kali Gentong, Ampel, Kabupaten Boyolali yang datang ke Sendang Senjoyo bersama anak dan istrinya menjelaskan. Ia saban tahun menjelang bulan Ramadhan selalu melakukan ritual padusan di lokasi ini. “Di tempat lain bisa-bisa saja, tapi rasanya kurang afdol,” ungkapnya.

Menikmati jernihnya air Senjoyo (foto: dok pri)
Menikmati jernihnya air Senjoyo (foto: dok pri)
Tradisi Turun Temurun

Areal Sendang Senjoyo yang terkenal dengan lagenda Joko Tingkir alias Mas Karebet, sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda dikenal sebagai tempat yang sakral. Selain untuk ritual kungkum (berendam) semalam suntuk pada hari-hari tertentu, juga selalu menjadi tujuan tradisi padusan. Sedang tradisi lainnya malam selikuran (hari ke-21 bulan Ramadhan) di mana banyak orang yang menggelar tirakatan dengan cara kungkum maupun membasuh wajah. Di luar hal tersebut, adalah upacara Mapag, yakni ungkapan rasa syukur pada Allah SWT yang digelar setiap malam satu suro.

Berdasarkan cerita turun-menurun, konon sebelum Joko Tingkir mengabdi di Kesultanan Demak, ia selalu berendam di Sendang Senjoyo untuk memperoleh kesaktian. Setelah merasa mempunyai ilmu kanuragan, dirinya berangkat ke Demak dan belakangan berhasil menjadi penguasa setelah melalui berbagai rintangan yang teramat sulit.

Lagenda keberadaan Joko Tingkir memang lekat di benak masyarakat sebab terdapat beberapa kemiripan. Di antaranya, desa yang bersebelahan dengan Sendang Senjoyo mempunyai nama Desa Tingkir. Sepak terjang Joko Tingkir memang mengagumkan, konon saat ia tengah melakukan ritual, air yang sebelumnya tenang, tiba-tiba bergolak menyemburkan jutaan kubik air yang mampu mengancam keselamatan warga Salatiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun