Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rawa Pening Harusnya Tak Membikin Pening

21 Maret 2017   17:09 Diperbarui: 23 Maret 2017   00:00 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini bukan daratan tapi enceng gondok yang menutup Rawa Pening (foto: dok pri)

Danau alam Rawa Pening yang berada di wilayah Kabupaten Semarang sebenarnya merupakan kawasan perairan yang mampu menghidupi ribuan orang, sayang belakangan pesonanya dirusak oleh tanaman liar enceng gondok sehingga menyebabkan para nelayan kelimpungan. Begitu menggilanya gulma ini, sampai- sampai menguasai sekitar 80 persen luas rawa tersebut dan membuat pening kepala daerahnya.

Nama latinnya sungguh indah, yakni Eichhornia crassipes atau bahasa Indonesianya enceng gondok, sedangkan warga setempat menyebutnya bengok. Sayang, keindahan nama latin itu tak secantik dampak yang ditimbulkan. Di mana, setelah sukses menguasai mayoritas permukaan air, nelayan pun kesulitan menjala ikan. Konon, ikan- ikan lebih suka bersembunyi di bawah gulma tersebut sehingga jaring nelayan sulit menjangkaunya.

Aliran sungai dari Salatiga yang menuju Rawa Pening (foto: dok pri)
Aliran sungai dari Salatiga yang menuju Rawa Pening (foto: dok pri)
Bila di tahun 1990 an para nelayan mampu mendapatkan hasil tangkapan ikan berkisar 20- 25 kilogram perhari. Setelah enceng gondok semakin menggila, gerak perahu nelayan jadi terhambat. Akibatnya, ikan yang berhasil dibawa pulang hanya pada kisaran 10 kilogram. Karena sepinya hasil tangkapan, maka banyak nelayan yang beralih profesi menjadi tukang batu atau pekerjaan kasar lainnya.

Padahal, kalau untuk sekedar menyambung hidup, Rawa Pening masih konsisten menyediakannya. Paling tidak, dengan memanfaatkan enceng gondok yang sampai sekarang belum mampu dimusnahkan, warga bisa bertahan. Salah satunya adalah bu Yanto (40) warga Desa Rowoboni, Banyubiru, Kabupaten Semarang. “ Suami saya yang mengambil enceng gondok, saya yang bertugas menjemurnya,” katanya ketika ditemui di pinggir jalan desa.

Ratusan batang enceng gondok dijemur di tepi jalan (foto: dok pri)
Ratusan batang enceng gondok dijemur di tepi jalan (foto: dok pri)
Bu Yanto tengah menjemur batang- batang enceng gondok, sekaligus mengikatnya untuk disetorkan pada pengepul. Untuk yang kering dipatok harga Rp 4700/ kilogram sedangkan batang basah dihargai Rp 22.000 perkuintal.  Dalam sehari, suaminya bisa membawa 3 kuintal enceng gondok yang harga totalnya mencapai Rp 65.000. “ Kalau saya ngurusi yang kering, paling banter sehari mendapatkan 10 kilogram setara Rp 47.000. Tergantung cuacanya,” ungkapnya.

Dengan begitu, duet suami istri tersebut dalam sehari mampu mendapatkan penghasilan sekitar Rp 65.000 plus Rp 47.000. Bukan jumlah yang sedikit bagi ukuran masyarakat pedesaan, mengingat beras biasanya panen sendiri dan lauk ala kadarnya. Yang lumayan tinggi adalah pengeluaran untuk anak sekolah. Pasalnya, tiga orang anaknya semua bersekolah di Ambarawa sehingga membutuhkan uang transport. “ Yang SMP memang gratis, tapi untuk yang SMA selain tetap membayar uang bulanan juga membutuhkan sangu(bekal) berangkatnya,” tuturnya.

Bu Yanto tengah mengikat batang yang sudah kering (foto: dok pri)
Bu Yanto tengah mengikat batang yang sudah kering (foto: dok pri)
Salah Satu Solusinya

Batang enceng gondok yang disetorkan bu Yanto pada pengepul, selanjutnya dibawa ke Jogjakarta untuk dijadikan beragam kerajinan seperti tas, mebel mau pun sandal. Tentunya harganya makin berlipat- lipat setelah berubah wujut. Di pasaran, sepasang sandal japit saja dipatok harga Rp 30.000, padahal tak menghabiskan 1 ons enceng gondok kering.

Dari apa yang dikerjakan oleh bu Yanto, tentunya ini merupakan bagian menyiasati menggilanya enceng gondok di Rawa Pening. Ketika ikan sulit dijaring, maka gulma pun dijadikan duit. Pertanyaannya, apakah langkah mereka juga diikuti warga lainnya ? Ternyata tidak, warga (khususnya kaum pria) lebih suka bekerja di proyek atau kuli bangunan dengan jam kerja yang panjang. Sementara untuk “memanen” enceng gondok, sekali berangkat tak butuh waktu berjam- jam.

Batang basah perkuintal Rp 22 ribu (foto: dok pri)
Batang basah perkuintal Rp 22 ribu (foto: dok pri)
Di tempat terpisah, yaitu di Desa Jalen, Ambarawa, banyak masyarakat yang memanfaatkan enceng gondok untuk dibuat beragam kerajinan. Banyak produk yang dihasilkan, ada yang diambil pengepul namun tak sedikit yang dijual di rumahnya masing- masing. Kendati begitu, langkah cerdas mengatasi enceng gondok tersebut bukan berarti mampu menghentikan laju populasi si bengok.

Berbagai cara sudah dilakukan pemerintah kabupaten Semarang untuk mengatasi populasi enceng gondok, hal tersebut terlihat di Desa Asinan, Kecamatan Tuntang. Sedikitnya terdapat tiga unit alat berat seperti  Loader , Backhoe,Dozer  hingga Dump Truck yang dikerahkan untuk mengangkat gulma dari perairan Rawa Pening. Hanya hasilnya tetap belum juga maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun