Tak ada yang menyangka, singkong yang dikenal sebagai camilan masyarakat lapis bawah, ternyata di tangan Hardadi, warga Jalan Argowiyoto Nomor 8 A Kota Salatiga mampu menjelma menjadi kuliner yang diburu golongan atas. Tak hanya mengangkat derajatnya saja, aneka singkong presto tersebut juga telah menjadi ikon tersendiri bagi kota kecil itu.
Singkong mentah yang harga perkilonya hanya berkisar Rp 1.600,00 - Rp 2.000,00, setelah memperoleh sentuhan tangan Hardadi langsung melesat kelasnya. Untuk jenis frozen alias yang termurah harganya mencapai Rp 10 ribu/dus, padahal isinya cuma 7 ons. Sementara untuk singkong original Rp 15 ribu/dus, singkong keju Rp 16 ribu/dus dan singkong keju ceres Rp 17 ribu/dus. Dari sisi rasa, semua sama. Gurih, merekah serta nimat disantap.
Mengusung label D-9, praktis singkong presto buatan Hardadi menjadi buruan pecinta kuliner Salatiga mau pun luar kota. Hal tersebut terlihat ketika saya bertandang ke Jalan Argowiyoto (lebih pas disebung gang) yang lebarnya hanya sekitar 4 meter, sepanjang aspal dipenuhi deretan mobil-mobil yang antre membeli singkong keju. Untungnya saya tak punya kendaraan roda empat, jadi tidak perlu bersusah payah mencari tempat parkir.
Ini agak aneh bagi kaca mata bisnis, harusnya pedagang melepas barang dagangannya sebanyak mungkin, Hardadi malah membatasinya. Konon, ia enggan mengecewakan calon pembeli. “ Mereka jauh-jauh dari luar kota, mampir Salatiga ingin membeli oleh-oleh singkong. Kalau pembelinya tidak kami batasi, mereka pasti tak kebagian,” dalihnya ketika berbincang dengan saya.
Perjalanan Penuh Liku
Kendati dalih yang dikemukakan bagi saya yang awam bisnis kurang masuk akal, namun apa yang disampaikan Hardadi saya amini saja. Saya malah jadi lebih tertarik dengan sepak terjangnya yang mampu mengangkat kasta singkong menjadi santapan kalangan gedongan. Sebab, kalau hanya melihat keberadaannya sekarang ini, sepertinya kurang adil. Semisal pria yang mempunyai anak 3 tersebut telah berstatus sebagai milyader singkong, namun saya ingin menelisik lebih jauh. Usai membayar 5 dus singkong keju pesanan saya, saya menyampatkan diri berbincang dengan Hartadi.
Hardadi yang kelahiran tahun 1971 sebenarnya sempat tersesat di jalan yang terang, ia salah gaul. Akibatnya, selain tak mempunyai pekerjaan tetap, dirinya juga kerap terserempet masalah hukum. Meski sudah memiliki anak istri, tetapi sepertinya pintu taubat masih menjauhinya. Untungnya, Dyah Kristanti yang menjadi istrinya setia mendampinginya. “ Saya percaya suatu saat suami saya akan berubah,” kata Dyah ketika nimbrung dalam perbincangan.