Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pasar Malam Tradisional, Riwayatmu Kini

19 Oktober 2016   15:22 Diperbarui: 19 Oktober 2016   17:16 1508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komidi putar yang hanya dinaiki tiga anak (foto: dok pri)

Di tahun 70-an, bahkan tahun 80-an, yang namanya pasar malam tradisional lengkap dengan berbagai wahana permainan merupakan satu hal yang selalu ditunggu anak-anak saat liburan sekolah. Lantas, bagaimana riwayatnya sekarang? Berikut catatannya.

Sudah hampir sepekan ini, setiap melewati Pasar Andong yang terletak di Jalan Osamaliki, Kota Salatiga, perhatian saya tertuju pada aktivitas pasar malam yang digelar oleh kelompok Ariels Flin asal Kota Semarang. Naluri saya sebagai Kompasiner mengatakan, banyak sisi menarik atas keberadaan hiburan rakyat ini. Pasalnya, kendati sepi pengunjung, mereka tetap saja bertahan di tengah gempuran beragam teknologi hiburan.

Selasa (18/10) malam, saya sengaja bertandang ke lokasi pasar malam yang jaraknya hanya 500 meter dari rumah. Kendati baru pukul 20.00, namun, situasinya terlihat sepi. Beberapa wahana malah tidak dimainkan karena tak ada anak yang berminat membeli karcis masuk sebesar Rp 8.000. Dari 8 wahana, tiga di antaranya menganggur tanpa penjaga. “Sepi mas, maklum bukan hari libur,” kata seorang penjaga komidi putar.

Wahana ombak yang tidak ada peminatnya (foto: dok pri)
Wahana ombak yang tidak ada peminatnya (foto: dok pri)
Usai mengambil beberapa gambar, saya berkeliling ke seluruh lokasi. Bila tak salah hitung, dari lima wahana, hanya ada sekitar 20 orang yang menikmatinya. Satu jam lebih berada di sini, kondisinya tetap belum berubah. “Paling banter, dalam semalam hanya ada 100 orang yang naik berbagai wahana,” ungkap penjaga yang sama.

Bila rata- rata tarif satu wahana sebesar Rp 8.000 dikalikan 100 orang, maka dalam semalam pengelola hanya mampu meraup Rp 800.000! Dipotong biaya oprerasional meliputi gaji karyawan yang berjumlah 20 orang, uang makan dan solar untuk menyalakan diesel, maka keuntungannya bakal semakin menipis. Mungkin berada di kisaran Rp 300.000 per malam. Bisnis yang tak lagi menjanjikan.

Untuk menyiasati agar biaya pengeluaran tidak semakin membengkak, maka seluruh karyawan mengoptimalkan tempat penjualan tiket berukuran 2 x 3 meter sebagai sarana tidur. Pada jam operasional digunakan melayani konsumen, setelah pukul 00.00 atau segala aktivitas berakhir, maka karyawan melepaskan penatnya di kotak yang terbuat dari seng tebal tersebut.

Kincir angin yang biasa ramai juga sunyi (foto; dok pri)
Kincir angin yang biasa ramai juga sunyi (foto; dok pri)
Hidup Segan Mati pun Enggan
Dari 8 wahana yang terdiri atas komisi putar berupa kuda-kudaan ditata melingkar, ombak air, kincir angin dan perahu raksasa semuanya menggunakan tenaga penggerak manusia. Sementara sisanya digerakkan oleh listrik seperti kereta mini mau pun mobil-mobilan. Untuk satu wahana, biasanya dijaga dua karyawan, satu bertugas menjual tiket serta rekannya menjaga menjaga areal permainan merangkap tukang sobek tiket.

Untuk memikat 100-an penikmat hiburan tradisional ini, sebenarnya pengelola sudah melakukan berbagai cara, termasuk mengecat ulang berbagai wahana agar terlihat menarik. Kendati begitu, ternyata tak mudah menjaring anak-anak mau mendatangi lokasi pasar malam. Generasi sekarang lebih memilih memainkan game online maupun permainan di smartphone.

Loket penjualan tiket merangkat kamar tidur (foto: dok pri)
Loket penjualan tiket merangkat kamar tidur (foto: dok pri)
Celakanya lagi, ketika animo anak-anak bertandang ke pasar malam mengalami penurunan drastis, belakangan alam juga tak bersahabat.Menurut salah satu penjaga wahana, bila sejak sore hari hujan mengguyur Kota Salatiga, maka bisa dipastikan sampai tengah malam menjelang tutup, tiket tidak ada yang terjual selembar pun.

“Ini sangat jauh berbeda dibanding tahun 80-an yang saban malam selalu penuh pengunjung meski cuaca hujan. Tahun-tahun itu merupakan masa keemasan pasar malam, hingga tahun 1990-an secara perlahan kejayaan mulai surut,” jelasnya.

Terlebih lagi, ujarnya, saat pasar malam diadakan menjelang anak sekolah liburan panjang, maka hampir sepanjang malam karyawan yang bertugas harus dipaksa kerja keras untuk melayani anak-anak yang turun naik wahana permainan. Sebaliknya, kondisi sekarang, tiap karyawan lebih banyak bengong dibanding melakukan tugas- tugasnya. “Bisa dilihat sendiri, yang naik hanya dua atau tiga orang,” katanya sembari menunjuk permainan kincir angin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun