Ando, pemuda berumur 32 tahun yang merupakan veteran pendaki, sejak 6 bulan lalu nekat merintis obyek wisata di lahan milik bapaknya yang terletak di Dusun Cuntel, Kopeng, Getasan Kabupaten Semarang. Bermodalkan Rp 2 juta, ia mulai menata kawasan seluas 6.000 meter tersebut. Seperti apa wujudnya, berikut catatannya.
Paradigma yang menyebut wisata selalu identik dengan investasi tinggi, rupanya mengundang hasrat Ando untuk mematahkannya. Kebetulan, pemuda asal Dusun Cuntel yang memiliki ketinggian 1864 mdpl ini, mempunyai orang tua yang memiliki lahan pertanian di kampungnya. "Lokasi ini sudah sangat indah, karena jelang sore hari kita serasa berada di awan," ungkapnya, Jumat (7/7) siang.
Dusun Cuntel sendiri, dalam bahasa Jawa artinya buntu atau mentok tiada jalan lagi. Karena hal tersebutlah dulunya para sesepuh Desa Kopeng memberikan nama Cuntel. Kendati begitu, mulai tahun 1970-an, dibuka jalur setapak untuk naik ke Gunung Merbabu. Dengan dibukanya pintu masuk itu, akhirnya banyak pendaki yang ketagihan memanfaatkannya. Sehingga, pihak Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGM) merasa perlu membuat Posko (lazim disebut basecamp) untuk mendata calon pendaki guna mengantisipasi adanya hal-hal yang tidak diinginkan.
"Saya kebetulan pernah bertugas sebagai petugas basecamp selama lima tahun, sehingga lumayan banyak pendaki yang saya kenal. Begitu pun kalau ada musibah di Merbabu, saya dan rekan-rekan di sini selalu terlibat upaya penyisiran hingga korban berhasil ditemukan," kata Ando.
Sekitar 500 meter dari gapura, beberapa remaja menghentikan semua pengunjung. Mereka menarik restribusi pemeliharaan jalan yang besarnya hanya Rp 2.000. Memasuki Dusun Cuntel, selanjutnya terlihat jalan perkampungan terbuat dari plesteran semen. Sebelum memasuki kawasan yang dihuni sekitar 150 KK tersebut, pengunjung yang berniat melakukan pendakian harus melapor ke basecamp. Selain registrasi, setiap pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp 10.000 dengan rincian Rp 5.000 untuk pendakian dan Rp 5.000 bea memasuki kawasan tersebut.
Memasuki kawasan ini, setiap orang pasti merasakan adanya udara dingin yang menyergap kulit. Kabut terkadang datang tak mengenal waktu sehingga Dusun Cuntel seperti terselimuti awan putih tersebut. Di kampung berpenduduk sekitar 500 orang itu, ada keramahan yang tulus tanpa membungkus kepentingan apa pun, sehingga membuat nyaman siapa pun. Memang, keramahan Teras Gunung Merbabu sudah menjadi kearifan lokal sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda.
Siapa pun yang ada di Dusun Cuntel, maka akan mampu melihat kecilnya Kota Salatiga, Rawa Pening dan berbagai gunung. Saat kabut mulai berhembus, maka kita serasa tengah berada di tengah awan. Beragam keindahan tersebut, bisa didapat secara murah meriah. Jadi, alasan wisata harus mahal, terbantahkan sudah.
Setelah mendapat restu bapaknya, Ando dibantu rekan- rekan di kampungnya mulai membenahi lahan pertanian itu. Karena bambu dan kayu sebagai bahan material sudah tersedia, maka, bermodalkan uang Rp 2.000, ia pun membuat loket masuk, gardu pandang, menanami rumput hingga berbagai bangku sederhana, khas pedesaan tentunya. Terlihat juga beragam permainan tradisional seperti egrang, ayunan karet ban bekas sampai dakon.
BHC, lanjut Ando, nantinya akan ia lengkapi dengan taman bunga hingga homestay yang tarifnya terjangkau. Saat ini, pengunjung baru sebatas melepas penat sembari ngopi di areal yang dikelolanya. Dan, yang tak ketinggalan adalah berselfie saat matahari tenggelam mau pun terbit. Sehingga, tidak heran bila banyak anak-anak muda yang jelang subuh sudah tiba di lokasi.
Apa yang dilakukan Ando, sepertinya layak diapresiasi. Ia yang dibesarkan sebagai anak gunung, menolak berurbanisasi, dirinya lebih memilih membangun kampungnya sendiri kendati modalnya sangat tipis. Yang pasti, Anda tengah berupaya mematahkan paradigma tentang menciptakan kawasan wisata harus menggunakan duit milyaran. "Yang lebih penting, saya berusaha menjaga keseimbangan alam di teras Merbabu," jelasnya mengakhiri perbincangan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H