Setelah cukup lama memendam keinginan mendaki Gunung Telomoyo, Ngablak, Kabupaten Magelang, akhirnya Minggu (21/8) sore terealisasi. Memerlukan waktu 1,5 jam untuk mencapai puncak yang ketinggiannya mencapai 1912 Mdpl tersebut. Berikut catatan sensasinya melalui jalanan yang rusak berat dan penuh kelokan tajam.
Didukung oleh cuaca cerah, sekitar pk 14.30, kami berdua menunggang si hitam, motor sport yang memang legam di sekujur bodynya mulai meninggalkan Salatiga. Hanya butuh waktu 15 menit telah tiba di Base Camp Pendawa yang terletak di Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Berdasarkan keterangan petugas jaga, untuk melakukan pendakian melalui jalur ini, harus berjalan kaki yang bisa ditempuh kurang lebih 2 jam perjalanan. Wow ! Apa tak copot dengkul uzur kami.
“ Tetapi kalau mau mendaki dengan sepeda motor, bisa melalui pintu masuk di Dusun Dalangan, Desa Pandean, Ngablak, Kabupaten Magelang. Mungkin hanya memerlukan waktu 30 menit untuk sampai puncak,” jelasnya.
Pos Karang Taruna di kaki gunung (foto; dok pri)
Setelah diskusi sebentar, kami pun meluncur ke dusun Dalangan, dari Base Camp Pendawa hanya butuh waktu 10 menit. Di kaki gunung Telomoyo, terdapat pos jaga karang taruna desa Pandean. Usai membayar restibusi sebesar Rp 5.000, kami boleh meneruskan rencana pendakian. Sebelum memulainya, sempat mendapatkan penjelasan bahwa jalur menuju puncak mengalami kerusakan sekitar 20 persen.
Mendengar penjelasan tentang kondisi jalan tersebut, rasanya langsung plong. Motor langsung melesat meninggalkan pos jaga melewati jalan aspal selebar sekitar 2 meteran. Hanya berjarak 500 an meter, ternyata jalanan aspal yang dibuat tahun 70 an sudah terlihat mengelupas. Semakin jauh, bertambah runyam. Ini lebih mirip jalan makadam dibanding aspal, pasalnya, banyak lobang menganga dengan diameter 1- 2 meter.
Baru beberapa ratus meter jalan sudah remuk (foto: dok pri)
Memasuki seperempat perjalanan, kondisi jalan bukannya bertambah baik. Batu – batu sebesar kepalan tangan bercampur kerikil jadi akses utama, kalau seperti ini, kerusakan bukan 20 persen. Tetapi dibalik, 80 persen hancur sedang yang 20 persen agak baik. Kepiawaian berkendara sangat dibutuhkan untuk menaklukkan track menanjak, penuh kelokan dan berbatu. Berulangkali si hitam nyaris tergelincir.
Disambut Kabut Tebal
Tiba di tebing batu yang mengalirkan air, kami sempat beristirahat sebentar. Tebing ini sangat eksotis, di mana, bebatuan raksasa mulai dari bawah hingga ke atas dengan ketinggian mencapai 30 an meter, terlihat menghitam akibat teraliri air secara terus menerus. Kebetulan, saat itu airnya kurang begitu deras. Setiap pendaki yang lewat, pasti akan berhenti sejenak untuk selfie.
Istirahat di tebing batu yang eksotis (foto: dok pri)
Lima menit beristirahat, perjalanan diteruskan. Track yang dilalui bukannya makin membaik, bahkan bisa dikata sangat parah. Terbayang bila hujan tiba, jalanan pasti mirip kubangan kerbau. Entah kenapa, Perhutani selaku pengelola hutan Telomoyo sepertinya abai terhadap kondisi jalan yang saban hari banyak dilalui orang.
Dengan si hitam kembali meneruskan pendakian (foto: dok pri)
Setelah menempuh perjalanan hampir 40 menit, kami hampir tiba di puncak Gunung Telomoyo. Sayangnya, kabut tebal mulai muncul hingga menggangu pandangan. Harusnya, semisal tak didera kabut, pemandangan di bawah sangat luar biasa. Sebab, baik kabupaten Magelang , kabupaten Semarang dan Salatiga bakal terlihat jelas. Karena kepalang tanggung, motor tetap kami paksa melaju melewati bebatuan.
Makin naik makin parah (foto; dok pri)
Kurang lebih 20 menit kemudian, akhirnya tiba juga di puncak Gunung Telomoyo. Persis di bagian puncak inilah, terdapat hutan menara pemancar mau pun BTS. Dari mulai Telkomsel, Perhutani hingga PLN. Sayang, kabut bertambah tebal sehingga susah mengambil gambar yang jernih. Hingga pk 16.00 kami berada di atas, setelah kabut bertambah menebal, kami putuskan turun.
Lihat Travel Story Selengkapnya