Kelompok Salatiga Sreet Art yang merupakan komunitas seni mural di Kota Salatiga, sepertinya tak pernah kehabisan ide. Minggu (14/8) siang mereka menggelar festival melukis dinding yang diikuti puluhan anak muda asal Kota Semarang, Magelang, Yogyakarta dan Jakarta.
Seperti galibnya sebuah festival, selain diiringi dentuman musik dari sound , puluhan anak muda yang rata- rata berusia di bawah 30 tahun, terlihat asyik menarikan kuas di atas permukaan tembok. Beberapa di antaranya, terpaksa menggunakan tangga, pasalnya media kanvasnya setinggi hampir 3 meter. Untungnya, alam berpihak pada diri mereka. Setelah semalaman Salatiga diguyur hujan, siangnya sinar matahari agak malu- malu menyorot bumi.
Dalam festival yang berlangsung di sebelah Taman Kota Tingkir, Kota Salatiga ini, sebenarnya sudah mulai digelar sejak hari Jumat (12/8) lalu. Memanfaatkan kanvas berupa tembok sepanjang 100 meter milik salah satu pengusaha, pihak panitia mengusung tema “ Bhineka Tunggal Ika”. “ Festival ini digelar dalam rangka peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 71,” kata M. Fikri (25) ketua panitia Salatiga Street Art Festival 2016.
![Tingginya kanvas harus pakai tangga (foto: dok pri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/08/14/2-57b0170b5893738c32b59aac.jpg?t=o&v=770)
Menurut Fikri, cat yang disediakan panitia sebenarnya merupakan sumbangan donatur. Celakanya, para donatur mayoritas perseorangan atau pengusaha ecek- ecek. Sebab, pengusaha cat terbesar di Kota Salatiga sendiri, ketika disodori proposal kegiatan malah mengabaikannya. Begitu juga dengan para pejabat, sepertinya kurang merespon aktifitas positif ini.
“Rencananya, Salatiga Street Art Festival akan kami gelar secara rutin setiap tahun menjelang tanggal 17 Agustus. Soalnya didukung sponsor atau tidak, kami tetap jalan terus,” jelas Fikri optimis.
![ini hasilnya (foto: dok pri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/08/14/3-57b0175d8423bd852d2dbed3.jpg?t=o&v=770)
Salatiga Street Art sendiri adalah sekelompok anak muda yang secara perlahan mengubah dinding – dinding tembok kosong di kota kecil ini menjadi mural. Memiliki personil sebanyak 15 orang, mereka mengekspresikan gejolaknya melalui ilustrasi dan grafis di berbagai sudut kota. Dengan biaya patungan untuk membeli cat, mereka saban sore hingga malam terlihat mulai beraksi.
Komunitas ini, sebenarnya terbentuk secara tak sengaja. Awalnya, ada anak- anak muda yang biasa nongkrong di salah satu warung bubur kacang ijo. Dari sekedar obrolan ngalor ngidul, akhirnya disepakati untuk membuat kelompok yang fokus pada seni mural. Terkait hal tersebut, mereka mulai menyigi kota mencari dinding tembok yang bisa dijadikan sasaran, tentunya atas seijin pemiliknya.
![Untungnya cuaca bersahabat (foto: dok pri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/08/14/4-57b017915893738c32b59ab0.jpg?t=o&v=770)
Butuh waktu cukup lama untuk memenuhi seluruh permukaan dinding menjadi berbagai lukisan serta graffiti. Begitu pun di Jalan Yos Sudarso, Selasar Kartini, Jalan Osamaliki, Jalan Imam Bonjol hingga Jalan Kosambi.