Salah satu staf honorer Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang bertugas mengetik surat dinas, rupanya kreatif tapi cenderung bego. Saat mengirimkan surat resmi ke Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), kepanjangan lembaga antirasuah tersebut diganti menjadi Komisi Perlindungan Korupsi.
Dalam sampul surat berkop lambang Burung Garuda dan tulisan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia seperti galibnya sebuah surat resmi lembaga tinggi negara, sepintas tak ada yang aneh atas amplop yang dikirim tertanggal 7 Juni 2016 tersebut. Keganjilan baru terlihat saat melihat pada alamat yang dituju, yakni bertuliskan : Kepada Yth Komisi Perlindungan Korupsi di Jakarta.
Karena merasa alamat yang dituju bukan KPK, ditambah Komisi Perlindungan Korupsi memang belum dibentuk (mungkin nantinya akan didirikan), akhirnya pihak KPK mengembalikan surat tersebut. Kendati begitu, urusan tak langsung selesai, sebab, wartawan dan media sosial secara berjamaah meramaikannya sehingga membuat Mendagri Tjahjo Kumolo langsung naik pitam.
Tanpa ampun, politisi PDI Perjuangan itu segera memberikan ganjaran setimpal terhadap tenaga honorer staf Direktorat Kewaspadaan Nasional yang berada di bawah kendali Dirjen Politik. Pegawai yang baru tiga bulan bekerja dipecat dengan tidak hormat, bahkan surat pemecatannya diteken sendiri oleh Tjahjo Kumolo. Konon, staf bernama Adi Feri tersebut, hanyalah lulusan SMA.
Terlepas Adi Feri hanyalah staf honorer yang modal pendidikannya terbatas, menurut Tjahjo, tidak boleh ada satu pun lembaga negara yang salah menuliskan lembaga negara lainnya. Terkait hal itu, dirinya secara resmi mengajukan permohonan maaf kepada KPK yang sebenarnya. Maksudnya bukan ke Komisi Perlindungan Korupsi.
Belajar dari “insiden” ini, diakui atau tidak, terlihat bahwa manajemen administrasi terkait surat-menyurat di Kemendagri sebenarnya amburadul. Surat resmi yang ditujukan pada lembaga tinggi negara, harusnya melalui filter secara berjenjang, mulai dari staf, dikoreksi kepala Tata Usaha (TU) hingga tingkat kepala bagian baru didistribusikan. Bila terjadi keteledoran seperti ini, pastinya bukan hanya Adi Feri saja yang layak dikorbankan.
Mendagri tak Perlu Malu Hati
Mengacu pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), mekanisme surat-menyurat biasanya diawali oleh disposisi Kepala Dinas kepada Sekretaris, selanjutnya turun di bagian atau bidang hingga akhirnya diketik staf. Setelah surat jadi, secara berjenjang bakal dikoreksi terlebih dulu. Saat Sekretaris menyatakan tak ada masalah, baru ditandatangani Kepala Dinas.
Apakah mekanisme surat-menyurat seperti itu juga ditempuh oleh Kemendagri? Rasanya dengan adanya kejadian ini, seluruh prosedur tetap telah diabaikan sehingga Kemendagri jadi bahan olok-olokan di dunia maya. Sebenarnya, Tjahjo Kumolo tak perlu malu hati, sebab, kejadian yang termasuk dalam ilmu kelirumologi bukan hanya terjadi di lembaga yang dipimpinnya.
Sebelumnya, Rabu tanggal 8 Juli 2015 lalu, saat Sutiyoso dilantik menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) juga menyisakan kegelian. Pihak Setneg selaku pihak yang punya gawe dan menyebar undangan, ternyata menyebut BIN kepanjangan dari Badan Intelijen Nasional. Undangan yang diteken Menteri Sekretaris Negara Pratikno belakangan menimbulkan beragam pertanyaan, bagaimana mungkin dapur Istana sampai seceroboh itu? (sssttt-mensesneg-tak-tahu-kepanjangan-bin).
Kendati kekeliruan di Setneg tak menelan korban, belakangan kecerobohan juga terjadi di lingkungan DPR RI. Di mana, menjelang pergantian Panglima TNI dari Jendral TNI Moeldoko S.IP ke Jendral TNI Gatot Nurmantyo, Ketua wakil rakyat yang terhormat (saat itu) Setya Novanto mengeluarkan SK persetujuannya. Salah satu bunyinya, menyebut pangkat Moeldoko sebagai Marsekal TNI. Akibatnya, terjadi kegaduhan kendati SK tersebut sempat diralat (baca : aduh-ketua-dpr-tidak-tahu-pangkat-panglima-tni).