[caption caption="Setya Novanto (foto: dok kompas.com)"][/caption]
Gaduh di Senayan akibat ulah Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) yang diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla akhirnya disidangkan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Di tengah keriuhan “peradilan” parlemen, Direktur Jendral (Dirjen) Pajak Sigit Priadi Pramudito (SPP) secara mendadak mengundurkan diri.
Pengunduran diri SPP dari kursi Dirjen Pajak ini, secara efektif berlaku sejak Selasa (1/12) tersebut, nyaring tak tak terdengar gaungnya. Praktis kabar langkah elegan SPP itu tenggelam oleh riuhnya persidang MKD yang tengah memeriksa Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Maklum, media mau pun publik lagi konsentrasi penuh ke Senayan.
Apa yang dilakukan SPP merupakan tindakan cerdas yang menabrak tradisi birokrasi di tanah air, bagaimana tidak , sudah lazim di negara ini, saat posisinya berada di atas, maka bisa dipastikan enggan menanggalkan jabatannya secara suka rela. Kursi empuk hanya bakal dilepas ketika menghadapi jerat hukum sehingga suka mau pun tak suka, harus dilepas.
SPP berdalih, terpaksa mengundurkan diri karena merasa tak mampu memenuhi target penerimaan pajak yang harusnya mencapai 85 persen dari sasaran yang ada pada APBN-P 2015. Di mana, target pajak di luar pajak minyak dan gas, mencapai Rp 1.244 triliun, namun berdasarkan data di Direktorat Jendral Pajak, hingga akhir November lalu, hanya terpenuhi 64,75 persen atau Rp 806 triliun. Akibat hal tersebut, sang Dirjen langsung tahu diri serta berujung pelengeseran dirinya sendiri.
Mundurnya SPP memang layak diapresiasi, terkait hal itu, saya jadi menggeser persoalan yang membelit Dirjen Pajak dengan apa yang menimpa diri Setnov. Kendati tekanan publik begitu kuat, meski pergulatan di tubuh MKD sangat liat dan walau kekuatan Koalisi Merah Putih (KMP) harus dipertaruhkan, namun, pria kelahiran Bandung tanggal 12 November 1955 itu, tetap bergeming. Seakan, posisinya tak bakal tergoyahkan.
Padahal, terlepas Setnov nantinya dinyatakan bersalah atau tidak, namun apa yang digulirkan Sudirman Said telah menjadi bola liar yang menyodok sana sini dan tidak menutup kemungkinan akan menyeret nama para pemangku kebijakan lainnya. Setnov seperti galibnya seorang politisi yang liat, tahan banting dan tentunya menolak menyerah begitu saja. Pertanyaannya, kenapa ia begitu ngotot bertahan di kursi panas ?
Jawaban paling sederhana, Setnov merupakan representasi kekuatan KMP di parlemen. Ia juga bukan politisi kemarin sore di partai berlambang pohon beringin, investasinya di partai tentunya lumayan besar sehingga wajar bila partai akan mempertahankan dirinya dengan segala upaya. Lihat saja saat anggota MKD dari Partai Golkar yang bukannya memeriksa Sudirman Said, namun malah “mengadilinya” hingga beberapa pertanyaan yang diajukan kadang tak mempunyai korelasi atas perkaranya, tapi dianggap sah adanya.
Presiden Soeharto
Kendati pengunduran diri belum menjadi tradisi bagi pejabat bermasalah di Indonesia, namun, sebenarnya langkah tersebut pernah dipelopori oleh Presiden Soeharto. Di mana, setelah menduduki kekuasaan selama 32 tahun, akhirnya tanggal 21 Mei 1998, saat badai ekonomi, politik dan kepercayaan menerpanya, akhirnya dia menyatakan mundur dari posisi orang nomor satu di Republik ini.
Langkah Soeharto, sangat diapresiasi publik. Sebab, tanpa pengunduran dirinya, potensi terjadinya chaos teramat besar. Sayangnya, meski upaya tersebut mampu meredam kekacauan, tapi tak memungkinkan menjadi tradisi bagi pejabat tinggi di era selanjutnya. Padahal, Soeharto merupakan guru besar Setnov. Berkat Soeharto pula nama Setnov semakin berkibar.