[caption id="attachment_418296" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi Perpecahan Partai Golkar (Foto: Istimewa)"][/caption]
Kendati dikalahkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Senin (18/5) siang, kubu Agung Laksono yang menjadi pimpinan Partai Golkar hasil Munas Ancol sepertinya tak akan menyerah. Artinya, ia belum habis berteduh di bawah Beringin.
Kubu Munas Ancol yang mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM Yassona H Laoly, oleh Ketua Majelis Hakim PTUN Teguh Satya Bakti dinyatakan kepengurusannya tidak sah. Terkait hal tersebut, yang diakui adalah kepengurusan Partai Golkar versi Munas Riau 2009 yang notabene merupakan kubu Aburizal Bakrie (Ical).
“ Guna mengisi kekosongan DPP Partai Golkar sebagai akibat dibatalkannya obyek sengketa oleh pengadilan, maka yang berlaku adalah DPP hasil Munas Pekanbaru, Riau, berdasarkan SK Menkumham,” kata Teguh Satya Bakti seperti dilansir kompas.com, Senin (18/5).
Dengan keputusan tersebut, Agung Laksono masih tercatat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golkar pimpinan Ical. Apakah hal itu akan membuat Agung Laksonolegowo? Bukan politisi kalau Agung menyerah begitu saja, sebab, usai keluarnya putusan PTUN, Agung langsung menyerukan kepada pengurusnya untuk mengajukan banding.
Bila kubu Agung Laksono tetap mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), perjalanan silang sengkarut Partai Golkar masih belum usai. Bisa dipastikan kepengurusan Munas Ancol bakal terus melakukan upaya hukum untuk mengganjal laju kepengurusan Partai Golkar di bawah Ketua Umum Ical.
Kue Pilkada
Ontran-ontran di tubuh Partai Golkar yang sudah berjalan cukup lama, memang membuat para pendukung dua kubu di Senayan ikut terkontaminasi panasnya suhu politik. Meski mereka sebenarnya berstatus sebagai wakil rakyat, tetap saja dukungannya terhadap induk Partai Golkar menjadi terbelah.
Ngototnya kubu Ical dan Agung Laksono dalam perebutan posisi menjadi pengurus di tingkat DPP sebenarnya bukan sekedar adu gengsi belaka. Di balik hal tersebut, ada sesuatu yang lebih besar, yakni kue Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar tahun 2015 ini. Bukan rahasia lagi, tanpa restu DPP, seorang calon Kepala Daerah, baik tingkat Kota, Kabupaten maupun Provinsi, tak mungkin bisa maju di hajatan besar tersebut.
Memang, seorang calon Kepala Daerah hanya membutuhkan dukungan dari DPD Partai Golkar tingkat II (Kabupaten/Kota)dan I (Provinsi), meski begitu, Ketua DPD Partai Golkar tak mungkin berani memberikan rekomendasi tanpa melakukan konsultasi dengan DPP. Konsekuensi bagi pengurus DPD yangmbalelo, bisa ditebak. Dicabut kartu tanda anggotanya, hingga berujung pergantian antar waktu (PAW) untuk pengurus yang duduk sebagai legislator.
Restu dari DPP, bagi seorang calon Kepala Daerah yang bakal maju ke ajang Pilkada, biasanya tak diperoleh secara gratis. Sebab, restu yang dituangkan dalam bentuk surat rekomendasi tersebut, terbit secara berjenjang. Mulai rekomendasi DPP, DPD I hingga berlanjut ke DPD II. Usai mengantongi rekomendasi 3 kepengurusan itu, barulah sang calon berhak mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).