[caption caption="Eks Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Kweek School (Foto: Dokumen Pribadi)"][/caption]Kolonial Belanda yang bercokol di bumi pertiwi selama 3,5 abad, selain meninggalkan berbagai kepedihan, ternyata juga menyisakan bidang pendidikan. Di Kota Salatiga, Jawa Tengah, bangsa yang disebut sebagai penjajah tersebut sempat membangun sekolah SD, SMP hingga tingkat lanjutan atas. Berikut catatan jejaknya.
Di tahun 1930-an, Kota Salatiga dipandang sangat strategis bagi pasukan Belanda karena lokasinya berada di tengah-tengah antara Semarang-Surakarta. Terkait hal tersebut, ada satu batalyon tentara kavaleri yang bermarkas di Ngebul (sekarang Batalyon 411/ Kostrad). Jumlah pasukan satu markas idealnya berkisar 600-an prajurit. Belum lagi tempat lain ada tentara KNIL yang bermarkas di beberapa lokasi. Banyaknya serdadu bule itu, maka bisa dibayangkan kondisi kota kecil ini di masa lalu. Ke timur ketemu Belanda, ke barat bertemu lagi, ke selatan pun pasti berpapasan.
Banyaknya warga Belanda yang menetap di Salatiga rupanya membuat pemerintahan kolonial untuk memikirkan lini pendidikan bagi anak-anak mereka. Kebutuhan tersebut dirasa sangat penting. Sebaliknya, sekolah anak pribumi diabaikan. “Tahun 1907, Belanda sudah membuat Sekolah Dasar (SD) yang diberi nama Europese Lagere School sekarang menjadi SD Salatiga I dan II,” kata Almarhumah Oma Martha, seorang keturunan Belanda-Jawa, lima tahun lalu saat berbincang dengan saya di kediamannya.
[caption caption="Eks Europese Lagere School di Jalan Diponegoro (Foto: Dokumen Pribadi)"]
[caption caption="Ini juga eks Europese Lagere School, masih kokoh (Foto: Dokumen Pribadi)"]
Hingga Indonesia memperoleh kemerdekaan di tahun 1945, Europese Lagere School akhirnya sekolahan yang mempunyai gedung berarsitektur khas Belanda, berpintu dan jendela lebar terbuat dari kayu jati, diubah namanya menjadi SD Salatiga I serta II. Secara fisik, tak ada perubahan yang berarti atas keberadaan gedung Europese Lagere School. Hanya bagian lantainya yang dulu berwarna abu- abu, sekarang diganti keramik. Di halaman belakang juga ditambah beberapa kelas untuk menampung jumlah murid yang terus membludak.
Sementara untuk pihak lain, yakni Biara Magdalena atas seijin Pastor Paroki, tahun 1933 merintis berdirinya SD. Pertama kali dibuka menggunakan nama Lagere School dengan murid sebanyak 67 orang, kemudian berganti menjadi Rooms Katholiek Weeshuis dan sesudah kemerdekaan disebut SD St. Theresia Marsudirini 77 yang hingga sekarang gedungnya masih kokoh serta tak mengalami banyak perubahan.
[caption caption="Yang ini eks Rooms Katholiek Weeshuis (Foto: Dokumen Pribadi)"]
Oma Martha yang dilahirkan tahun 1927 bercerita, Belanda yang terkenal akan kedisiplinannya, juga sangat mengedepankan pentingnya pendidikan (bagi warganya tentunya). Selain Europese Lagere School, juga didirikan Holland-Chinese Schools (sekarang menjadi SD Salatiga III). Sekolah ini didirikan untuk menampung warga Belanda dan Tionghoa yang oleh pemerintahan kolonial dianggap merupakan warga kelas dua setelah kulit putih.
[caption caption="Ini gedung eks Holland-Chinese Schools (Foto: Dokumen Pribadi)"]
Yang agak menyedihkan, di tahun 90-an, bangunan SMP Negeri II pernah mengalami renovasi. Celakanya, kusen-kusen yang terbuat dari kayu besi raib tak jelas rimbanya. Saya sempat menelusurinya, kayu-kayu langka nan keras tersebut, disembunyikan oleh seorang oknum di Perumahan Warak. Saking banyaknya kayu yang ditilep, dua unit rumah tipe 27 dimanfaatkan untuk menampungnya. Entah, dikemanakan barang tersebut. Yang pasti, tidak kembali ke sekolahan.
[caption caption="Gedung eks Middlebare School (Foto: Dokumen Pribadi)"]