Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru dan Dosen Lingkungan ini Ternyata Tukang Sampah

22 Juli 2016   13:39 Diperbarui: 22 Juli 2016   14:44 1827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama mahasiswa Australia acungkan salam tiga jari (foto: dok pri)

Namanya sederhana, Sugito, usia 52 tahun, profesi tetapnya adalah tukang angkut sampah di kawasan Perumahan Dliko Indah, Blotongan, Kota Salatiga. Kendati begitu, ia memiliki predikat sampingan yakni guru dan dosen lingkungan yang dalam memberikan materi pelajarannya tak mengenal tempat serta waktu.

Rumah Sugito yang biasa disapa dengan panggilan mas Gito, terletak di Ngampel RT 03 RW 04, Blotongan, Sidorejo, Kota Salatiga. Meski berada di gang sempit , namun, kerap didatangi rombongan anak sekolah, mahasiswa, ibu- ibu PKK hingga bule asal Amerika mau pun Australia. Mereka menyambangi kediaman pria beranak dua itu tujuannya satu, yakni belajar mengelola sampah dan limbah.

Memberikan
Memberikan
Seperti yang terlihat belum lama ini, puluhan bule asal Amerika yang merupakan mahasiswa peserta Program Intensif Belajar Bahasa dan Budaya Indonesia (PIBBI) di Language Training Center (LTC) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Kota Salatiga, berkumpul di rumah mas Gito. Mereka dengan antusias mendapatkan materi “kuliah” tentang cara membuat kompos, pemilahan sampah hingga metode menanam sayuran organik.

Bila dosen- dosen yang mengajar di kampus mayoritas selalu tampil perlente, sebaliknya, mas Gito ketika memberikan “kuliah” selalu mengenakan seragam dinasnya berupa kaos lusuh, celana panjang yang tak kalah lecek kadang juga hanya bercelana pendek. Kendati tampil apa adanya, tapi materi yang ia sampaikan mudah dicerna. Pasalnya, dirinya menggunakan bahasa yang relatif gampang dimengerti.

“ Mau menjelaskan dengan bahasa yang ilmiah, sayanya yang bingung sendiri. Wong saya  cuma lulusan S2 (maksudnya SD dan SMP),” ungkap mas Gito sembari terkekeh.

Lain kesempatan, mas Gito gantian  mendapat kunjungan mahasiswa asal Australia. Keinginannya tetap sama, yakni belajar mendaur ulang sampah, membuat kompos hingga memproduksi beragam souvenir dari limbah. Masih mengenakan seragam dinasnya, bak dosen profesional, ia menjelaskan secara detail apa yang diketahuinya. Sementara mulutnya nyerocos, para mahasiswa tersebut menyimak sembari mencatat hal- hal yang dianggap penting.

Beri materi
Beri materi
3 R

Sebagai aktifis lingkungan yang berpendidikan pas- pasan, mas Gito juga kerap bergaya dalam menyampaikan materi pembelajaran. Prinsip pengelolaan sampah yang terdiri atas 3 R ( reuse, reduce dan recucle) sering ditekankan pada “murid” mau pun “mahasiswa” nya. Di mana, penjelasannya reuse berarti menggunakan kembali sampah yang masih dapat berfungsi, reduce mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah serta recycle yang artinya mengolah kembali (daur ulang) sampah menjadi barang yang bermanfaat.

“ Melakukan 3 R saban hari, bisa dilakukan oleh siapa pun. Tidak peduli dengan status sosialnya, semua tergantung pada niat dan kemauannya. Dan, semua itu bisa dilakukan di mana saja, tanpa biaya dan kapan saja,” ungkapnya.

Begitu pun saat mas Gito kedatangan sekitar 40 an murid SD, tanpa ragu sedikit pun, ia memberikan edukasi tentang pentingnya  lingkungan hidup dan prinsip 3 R. Tak sekedar ngoceh soal teori, dirinya langsung praktek di depan anak- anak itu, sehingga langsung mampu dicerna dengan baik. “ Teori tanpa praktek ya sama saja bohong, agar saya tidak dianggap berbohong, maka usai saya jelaskan teorinya langsung saya lakukan praktek lapangan,” jelasnya.

Usai mengajar anak- anak SD, tetap salam tiga jari (foto: dok pri)
Usai mengajar anak- anak SD, tetap salam tiga jari (foto: dok pri)
Begitu getolnya mas Gito berkampanye tentang 3 R, sehingga, salam tiga jari (wujut komitmen 3 R) setiap saat melekat pada dirinya. Tamu- tamu yang berkunjung ke rumahnya, ketika mengajak berfoto bersama, ia mengharuskan sang tamu (entah dari mana asalnya) mengacungkan tiga jarinya. Bukan apa- apa, dokumentasi tersebut sekedar pengingat bahwa mereka pernah mempelajari 3 R yang bermanfaat bagi kehidupan di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun