Diam- diam, Polisi Wanita (Polwan) yang dulunya merupakan bagian ABRI, tanggal 1 September 2016 kemarin telah memasuki usia ke 68. Dimulai dari Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, saat zaman perjuangan, Polwan dilahirkan. Lantas, sejauh mana perannya memasuki umur uzur ini?
Saat pemerintahan Republik Indonesia masih terhitung balita, yakni tahun 1948, di mana para pejuang tengah menghadapi Agresi Militer Belanda II, di Bukittinggi ikut bergejolak. Pengungsian besar- besaran mengalir akibat menghindari terjangan peluru serdadu Belanda, mereka terpaksa meninggalkan rumahnya masing- masing mencari selamat.
Banyaknya pengungsi itulah yang membuat tentara bersama pejuang Republik Indonesia (RI) terpaksa harus menggelar penggeledahan karena dikhawatirkan adanya penyusup yang membaur di antara pengungsi. Sayang, upaya tersebut menemui hambatan. Pasalnya, pengungsi perempuan menolak diperiksa oleh aparat keamanan yang memang semuanya laki- laki.
Karena hambatan itu jelas menjadi kendala aparat di lapangan, akhirnya pemerintah menugaskan Sekolah Polisi Negara (SPN) Bukittinggi untuk merekrut Polwan melalui jalur pendidikan perwira polisi. Dari banyak gadis yang mengikuti seleksi, belakangan terpilih enam orang yang terdiri atas Nelly Pauna Situmorang, Mariana Saanin Mufti, Rosmalina Pramono, Rosnalia Taher, Djasmainar Husen dan Dahniar Sukotjo sebagai calon anggota Polri.
Enam gadis asal Bukittinggi tersebut menjalani pendidikan secara resmi mulai tanggal 1 September 1948, terkait hal itu, tanggal yang sama dijadikan hari jadi Polwan RI. Nelly Pauna Situmorang, Mariana Saanin Mufti, Rosmalina Pramono, Rosnalia Taher, Djasmainar Husen dan Dahniar Sukotjo tercatat sebagai wanita ABRI angkatan pertama, hingga mereka memasuki purna tugas, semuanya menyandang pangkat Komisaris Besar (Kombes).
Polwan Berdarah Tionghoa Pertama
Seperti galibnya seorang prajurit Bhayangkara, enam Polwan yang baru usai menempuh pendidikan juga melaksanakan berbagai tugas operasi. Mereka harus siap menjalankan perintah pimpinan, dari mulai penyamaran, penggerebekan, penangkapan hingga menjadi penyidik. Apa lagi pangkat mereka adalah perwira pertama yang tentunya perlu menguasai semua lini yang terkait keamanan di masyarakat.
Memasuki tahun 1960 an, ketika Polri secara resmi tergabung dalam ABRI, maka keberadaan Polwan semakin dibutuhkan. Terkait hal tersebut, proses seleksi penambahan personil mulai digelar. Polwan angkatan ke dua ini menarik, pasalnya, di antara calon polisi terselip seorang gadis keturunan Tionghoa. Namanya Anna lao Tjiao Leang kelahiran Makassar 9 Agustus 1939. Ia satu- satunya calon Polwan asal Makassar yang lolos seleksi, sementara 44 rekannya dinyatakan gugur.
Berbeda dengan pola pendidikan calon Polwan sekarang yang cenderung lebih lunak. sebaliknya di tahun 1960 Anna lao Tjiao Leang mengalami gemblengan keras di Dinas Pengamanan Keselamatan Negara (DPKN). Usai mengikuti pendidikan, Anna menyatakan kesiapannya untuk bertugas ke Aceh. “Dari semua yang ditawarin, hanya saya yang bersedia bertugas ke Aceh,”tuturnya.
Masuknya Anna di jajaran Polri, sebenarnya bukan sesuatu hal yang mudah. Orang tuanya melarang keras tekad putrinya menjadi prajurit Bhayangkara, sayang, niatnya sudah bulat dan sulit dibendung. Sehingga, gadis tomboy tersebut usai menjalani pendidikan langsung bertugas di Aceh. Tak banyak yang bisa diceritakan saat bertugas di Aceh, baru setelah dirinya ditarik ke Jakarta dan ditempatkan di bagian Intelijen, maka beragam cerita mengalir.
Layaknya seorang Intel, Anna kerap melakukan penyamaran guna mendukung kegiatan operasi kesatuannya. Untuk menyempurnakan penampilannya, ia membekali diri dengan berbagai kursus seperti potong rambut, memasak, memijat hingga akupuntur. Sebenarnya ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia- Malaysia, dirinya telah dipersiapkan menjadi personil yang bertugas melakukan penyusupan.