Pertunjukan wayang kulit yang dulunya merupakan primadona hiburan rakyat jelata, belakangan mulai terpinggirkan dan hanya dinikmati sedikit penggemarnya. Penuturan cerita yang sarat pesan moral tersebut, kalah oleh pagelaran musik dangdut Pantura. Berikut catatannya dari Kota Salatiga untuk Kompasiana.
Penasaran dengan pagelaran wayang kulit yang diadakan di lapangan Pancasila Kota Salatiga, akhirnya saya pun ikut berbaur dengan para penonton. Wayang kulit ini, kebetulan diprakarsai Badan Kerjasama Gereja Salatiga (BKGS) berkaitan dengan perayaan Paskah. Di mana, setelah sore harinya dilakukan ibadah bersama, akhirnya malam harinya dihelat pertunjukan wayang kulit bersama dalang Ki Gedeon.
Seperti galibnya pagelaran wayang kulit, selain seperangkat gamelan juga ditampilkan tiga orang sinden yang berfungsi sebagai pemanis. Banyak pesan moral yang terlontar, karena memang dalam permainan wayang kulit selalu terselip kebaikan melawan kebatilan. Kendati ceritanya menarik, serta dalang juga memainkan beragam wayang dengan ciamik, namun ada sisi menarik, yakni sepinya penonton.
Cerahnya cuaca, rupanya tak membuat masyarakat Kota Salatiga antusias menontonnya. Dalam hitungan kasar, sekitar pk 21.00, hiburan budaya ini hanya disaksikan berkisar 100 an orang. Hal tersebut juga terjadi pada pagelaran – pagelaran wayang kulit lainnya, berulangkali dihelat tetapi tetap sepi penonton. “ Kalau dangdut Pantura, ya penontonnya selalu membludak,” kata salah satu penikmat wayang kulit bernama Mulyono (60) warga Mangunsari, Kota Salatiga ketika dimintai tanggapannya.
Apa yang diungkapkan Mulyono juga dibenarkan oleh Harjo (70) warga Sidorejolor, Kota Salatiga yang kebetulan malam itu ikut menyimak pertunjukan wayang kulit. Menurutnya, jaman dirinya remaja, hiburan primadona adalah wayang kulit. Meski ketoprak juga wajib ditonton, namun penampilannya tidak sesering wayang.
Raib Digerus Jaman
Jaman dulu, lanjut Harjo, karena hiburan wayang kulit banyak digelar di berbagai pedesaan, maka dirinya bersama rekan- rekan sekampungnya biasa berjalan kaki berkilo- kilo meter hanya untuk menikmatinya. Biasanya, mereka berangkat usai Isya dan pulangnya saat pertunukan usai, tepatnya jelang Subuh. “ Butuh perjuangan untuk menontonnya, sebaliknya yang terjadi sekarang ibarat digelar di depan mata saja anak muda malas menontonnya,” tukas Harjo.
Meski wayang kulit sangat erat kaitannya dengan budaya Hindu dan Budha, menurut Harjo, jaman Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai tokoh 9 wali atau dikenal sebagai wali songo, dalam syiar agama Islam juga membawa kesenian wayang kulit. Sunan Kalijaga yang bernama asli Joko Said serta lahir di tahun 1450 M, dikenal merupakan pelopor wayang beber hingga memperkenalkan karakter Bagong, Petruk mau pun Gareng.