[caption caption="Jemuran pakaian buatan warga Ngablak (foto: bamset)"][/caption]Di mata orang awam, bambu hanyalah pohon yang tumbuh dengan sendirinya di kebun mau pun lahan kosong. Manfaatnya paling banter untuk pagar sederhana atau digunakan sebagai tiang bendera. Kendati begitu, di tangan warga kampung Ngablak, Blotongan, Sidorejo, Kota Salatiga, selama puluhan tahun mampu memberikan kehidupan.
Bambu yang perbatangnya seharga Rp 7 ribuan, oleh warga Ngablak, sejak tahun 1990 dijadikan penopang hidup. Caranya, batang- batang bambu tersebut dibuat menjadi kerai peneduh, tempat jemuran, kandang ayam, besek, anyaman atap hingga tempat untuk mengukus nasi. Meski dikerjakan secara sambilan, tetapi mampu memberikan kontribusi yang lumayan. Minggu (17/1) sore, saya bertandang ke kampung ini. Sayangnya, aktifitas warga berhenti karena sudah terlalu sore.
[caption caption="Bahan baku sebelum dibentuk (foto: bamset)"]
Untuk membuat kerai ukuran 1 X 2 meter, yang biasa digunakan menangkal sinar matahari, seorang pengrajin membutuhkan sebatang bambu yang yang panjangnya mencapai 10 meteran. Setelah dipotong sesuai ukuran, selanjutnya batang bambu dibelah kecil- kecil ukuran 2 centi meter. Agar bentuknya halus, belahan bambu diserut satu persatu hingga halus. “ Setelah itu baru dirangkai membentuk kerai,” tutur Saefudin.
Dalam memproduksi satu kerai, pengrajin membutuhkan waktu paling cepat dua hari. Hasil jerih payah tersebut, biasanya dihargai sebesar Rp 50 ribu. Untuk pemasaran, kadang diambil pemesan, tetapi juga sering dititipkan di kios- kios yang terletak di Tapen, Tuntang, Kabupaten Semarang. Bila sudah berada di kios, maka harga jualnya mencapai Rp 75 ribu- Rp 100 ribu, tergantung kepiawaian penjualnya.
[caption caption="Kerai buatan warga Ngablak (foto: bamset)"]
Tak Tergerus Jaman
Kendati saat ini kemajuan jaman sudah sedemikian pesat, namun, keberadaan pengrajin bambu di Ngablak tetap tak tergoyahkan. Salah satu contohnya adalah membanjirnya tempat jemuran yang terbuat dari besi mau pun almunium yang harganya mencapai Rp 200 an ribu. Bagi para pengrajin, buatan pabrik tidak menjadi ancaman. Pasalnya, pangsa pasar jauh berbeda. “Pasar yang disasar warga kan golongan bawah, sedang buatan pabrik membidik golongan menengah ke atas,” ungkap Saefudin.
Dengan perbedaan harga yang mencolok, maka keberadaan pengrajin bambu tak khawatir kehilangan konsumen. Sebab, selama golongan bawah masih ada di Republik ini, maka, kerajinan tangan mereka tetap laku. Begitu pun barang lainnya seperti kanda ayam, baik yang berbentuk kotak mau pun bulat. Pabrikan tidak bakal mampu menyaingi mereka karena membutuhkan ketelitian yang detail.
Untuk kandang ayam ukuran 1 X 2 meter, saya mendapatkan keterangan harganya mencapai Rp 80 ribu. Sebagai pembanding, saya mencoba mendatangi tukang las guna memesan barang serupa terbuat dari deruji besi. Ternyata, tukang las mematok harga Rp 1 juta. Perbedaan harga yang berlipat- lipat itu, membuat orang lebih memilih kandang bambu.
[caption caption="Aneka kandang ayam yang dijajakan di Tapen (foto: bamset)"]