Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bus ESTO, Sarana Transportasi Zaman Kolonial yang Masih Bertahan

11 April 2016   17:34 Diperbarui: 11 April 2016   21:15 2624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bus ESTO edisi kolonial Belanda (foto: dok humas Pemkot Salatiga)"][/caption]Masyarakat Kota Salatiga maupun Kabupaten Semarang hanya mengenal bus ESTO sebagai angkutan umum jarak pendek, namun, mayoritas tak mengetahui sejarah dan kepanjangannya. Padahal, bus ini sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Berikut penelusuran saya mengenai bus lagendaris tersebut.

Di tahun-tahun 1980-an, saat saya masih duduk di bangku SMA, setiap kali bolos dan main ke Ambarawa, Suruh maupun Bringin, saya selalu memanfaatkan bus ESTO. Dengan warna khasnya, yakni hijau, body didominasi kayu serta mesin tua yang kerap terbatuk-batuk di perjalanan, membuat penumpangnya ngantuk. Ketika itu warga menyebutnya “kodok ijo”.

Kenapa disebut “kodok ijo”? Karena bus ini unik, selain warnanya hijau tua, bentuk kendaraannya memiliki moncong di bagian depan (tidak seperti bus sekarang), pintu depan ada di samping kiri sedang pintu satunya berada di belakang (bukan di samping). Kursi duduknya dibuat dari kayu jati tua, sementara interior nyaris didominasi berbahan kayu. Mungkin, semisal masih tersisa, harganya ratusan juta rupiah saking antiknya.

Di tahun 80-an, tarif yang saya ingat bagi anak sekolah sekitar Rp 10 untuk jarak 15-20 kilometer (Ambarawa, Bringin, dan Suruh). Di belakang pengemudi, terdapat sekat yang berfungsi sebagai pembatas penumpang. Di samping bagian atas pengemudi, ada tulisan mencolok berbunyi : Dilarang Bicara Dengan Sopir. Saya menduga peringatan tersebut dipasang sejak jaman kolonial Belanda.

[caption caption="Bus ESTO sekarang tanpa moncong (foto : dok pribadi)"]

[/caption]Soal keamanan, saya pikir bus ESTO adalah angkutan umum paling aman di dunia. Pasalnya, selain tak mampu melaju kencang, bus ini sebentar-sebentar berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpangnya. Kota Salatiga – Ambarawa yang berjarak 20 kilometer, biasa ditempuh hampir 1 jam perjalanan. “ Itu bus ESTO merupakan kendaraan favoritku. Sehak jaman Belanda, aku langganan tetapnya,” kata Almarhumah Oma Martha, blasteran Belanda-Jawa ketika saya ajak berbincang lima tahun lalu.

Menyesuaikan dengan kondisi bus yang sudah uzur, rata-rata awak bus yang mengabdi di PO ESTO adalah para pria sepuh yang berumur di atas 50 tahun. Mereka kebanyakan sudah mengabdi puluhan tahun, bahkan ada yang ayahnya dulu bekas sopir, kondektur atau kernet bus yang sama. Karena merupakan orang-orang yang telah makan asam garam di dunianya, tak heran bila tingkat kesabaran mereka teramat sangat tinggi.

Mulai Beroperasi sejak Tahun 1921

Bus ESTO sudah menempuh perjalanan yang panjang, mulai pemerintahan kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, Orde Lama, Orde Baru hingga era Reformasi. Memiliki garasi di Jalan Langensuko, serta bengkel di Jalan Moh Yamin yang bentuk bangunannya sudah berubah. Garasi utama berganti rupa jadi kios-kios sedang bengkelnya difungsikan menjadi garasi. Bila dulunya bus merek Chevrolet sekarang berganti merek.

Sosok yang berani mengambil spekulasi berdirinya bus ESTO adalah Kwa Tjwan Ing yang pada tahun 1921 membuka usaha transportasi darat menggunakan bus-bus kecil. Karena di jaman kolonial Belanda pemberian nama harus disesuaikan dengan bahasa Belanda, ia memberikan nama busnya Eerste Salatigasche Transport Onderneming atau disingkat ESTO. “Ketika pertama kali muncul, ESTO hanya melayani trayek Salatiga-Tuntang,” tutur Oma Martha.

[caption caption="Garasi ESTO yang sekarang diubah jadi kios (foto: dok pribadi)"]

[/caption]Menurut Oma Martha, karena kondisi angkutan darat waktu itu masih sangat jarang, akhirnya ESTO membuka trayek ke Bringin, Ambarawa dan Suruh (semuanya masuk wilayah Kabupaten Semarang). Dengan kapasitas tempat duduk hanya 20 orang, terdapat diskriminasi terhadap penumpang pribumi. Bila orang Belanda selalu duduk di barisan depan yang kursinya diberi pelapis busa, sedang pribumi wajib duduk di belakang yang kursinya ala kadarnya.

Karena jaman serbasusah, kendati bus ESTO sudah membuka jalur di empat kecamatan yang ada di Kabupaten Semarang, orang lebih banyak memilih berjalan kaki. Sebab, ongkos naik bus bukan sesuatu yang murah bagi pribumi kebanyakan. “Mereka lebih memilih naik delman, naik pedati atau jalan kaki untuk menempuh perjalanan 15 kilometer,” ungkap Oma Martha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun