Masih ingat dengan Sukesi (76) warga Bendosari RT 01 RW 05, Kumpulrejo, Sidomukti, Kota Salatiga yang dulunya tinggal di rumah mirip kandang? Sekarang, janda tanpa anak tersebut relatif nyaman tinggal di kediaman yang mungil namun rapi. Perubahan nasipnya yang berpuluh tahun terlunta, berkat Kompasiana kita. Seperti apa kondisinya dahulu dan sekarang, berikut catatannya.
Sukesi yang biasa disapa mbah Kesi (nenek Kesi), sebenarnya seorang janda mantan pejuang 1945. Almarhum suaminya, yakni Setyo Ramelan tercatat sebagai veteran era perjuangan yang diakui oleh pemerintah. Terbukti, ia tiap bulan rutin menerima pensiun sebesar Rp 400.000 di tahun 2008. Sayang, menjelang kematiannya, Setyo Ramelan menggadaikan SK pensiunnya dengan angsuran mencapai Rp 330.000 perbulan.
Meninggalnya sang suami, langsung membuat diri mbah Kemi kelimpungan. Karena sisa uang pensiun tak mencukupi untuk hidup, ia pun berinovasi dengan meminjam ke Koperasi Simpan Pinjam (KSP) keliling yang cara berhutangnya cukup mudah, yakni berbekal KTP. “Untuk pinjaman Rp 100.000, saban hari mengangsur Rp 13.000 kali 10,” ungkapnya.
Inovasi yang dilakukan mbah Kesi, ternyata berkepanjangan. Kendati pinjamannya tak seberapa, namun karena tiap hari dipergunakan untuk makan, akhirnya hutang tersebut menjadi permanen. Setiap kali lunas, ia mengambil lagi dan berjalan bertahun- tahun. “ Kalau terdesak tidak punya uang untuk mengangsur, saya menjual ayam dulu,” ungkapnya dalam bahasa Jawa.
Bertahun- tahun hidup serba kekurangan, maka penampilan mbah Kesi (maaf) mirip gelandangan. Jangankan memperbaiki rumahnya yang hanya berukuran sekitar 4 X 6 meter, untuk makan sehari- hari saja sudah setengah mati. Akibatnya, kediaman peninggalan mendiang suami, mirip tongkang pecah. Temannya tiap malam hanya ayam dan anjing piaraan yang setiap saat nyaris ia keloni, menyedihkan.
Kabar tentang ngenesnya hidup janda mantan pejuang ini, awalnya saya dengar dari salah satu aktivis lingkungan di Salatiga. Usai mendapat informasi, saya segera mencari keberadaan mbah Kesi. Hasilnya, benar adanya. Begitu tiba di rumahnya , aroma khas langsung menyergap lubang hidung. Kolaborasi bau kotoran ayam, pesing, apek dan lembab menyatu sehingga semakin lengkap melesak ke dada.
Ruangan berukuran sekitar 4x6 meter penuh barang-barang tidak terpakai. Sementara di lantai , terlihat kotoran ayam ada di mana-mana bercampur tai anjing. Saat saya melongok kamarnya, terlihat anjing piaraan mbah Kesi tengah bermain di atas kasur berwarna cokelat kehitaman saking kotornya. Ia mengaku, kediamannya telah berubah fungsi menjadi kandang sekaligus tempat tinggal.
Ada perasaan sedih yang mendalam pada diri saya, bagaimana mungkin nenek uzur ini bertahun-tahun hidup di kandang tanpa terdeteksi aparat pemerintahan? Setelah mendapat penuturan dari mbah Kesi secara jelas penyebab porak porandanya kehidupannya, akhirnya saya berpamitan sembari berfikir apa yang perlu saya lakukan.