Otto Mayor (50) warga Manokwari, Papua Barat yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di Kota Salatiga, Jawa Tengah, merupakan sosok unik. Ia atlet marathon, pernah jadi tukang becak, merintis sebagai tenaga honorer dan kerap menggelar aksi keprihatinan tunggal. Seperti apa sosoknya? Berikut catatannya.
Pria asli kelahiran Bumi Cendrawasih ini, tahun 1980-an tiba di Salatiga dalam rangka berlatih cabang olahraga atletik di nomor marathon. Sayang, prestasi terakhirnya hanya bertahan di tingkat Pekan Olahraga Nasional (PON) di tahun 1989 dengan medali perak. Hingga akhirnya, dirinya menikahi seorang perempuan yang sehari-hari berdagang sayuran.
Setelah menyandang predikat suami, Otto selanjutnya tinggal di kawasan Klaseman, Mangunsari, Sidomukti Kota Salatiga. Sulitnya perekonomian saat pemerintahan Orde Baru, membuat dirinya kerap “berakrobat”. Pekerjaan apa pun dilakoninya, mulai dari reporter radio swasta, tukang becak, hingga buruh serabutan. “Yang penting saya tidak mencuri, tidak merugikan orang lain,” ungkapnya waktu itu.
Profesi Otto sebagai tukang becak dilakoni tak hanya sebulan dua bulan saja, ia bertahun-tahun mengayuh pedal becak guna menghidupi empat orang anaknya. Kendati begitu, dirinya tetap aktif melancarkan berbagai aksi unjuk rasa tunggal. Setiap melihat adanya ketimpangan di Republik ini, dia segera membuat pamflet dan turun ke jalan.
Semua aksinya dilakukan dengan jalan kaki berkeliling Kota Salatiga hingga menuju ibu kota Provinsi Jawa Tengah, yakni Semarang. Bahkan, di tahun 2006 silam, dirinya pernah berjalan kaki dari Salatiga ke Jakarta untuk menemui Almarhum Gus Dur. “Saya melakukannya karena terlalu cintanya pada Republik ini. Inginnya, Negara Indonesia tidak ada lagi ketimpangan,” ujarnya.
![Otto Mayor bertampang sangar tapi berhati lembut (foto: dok DS)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/02/07/2-58998c49b67e614707ecc01b.png?t=o&v=770)
Seperti yang terjadi belakangan ini, ketika toleransi dicabik oleh kepentingan-kepentingan politik, Otto yang tengah pulang ke Salatiga untuk mengkhitankan putranya, sebelum kembali ke Manokwari, dirinya menyempatkan diri menggelar aksi tunggal. Sembari membawa pamflet besar bertuliskan "Indonesia untuk siapa?", ia berkeliling kota sejauh hampir 6 kilometer dan mengakhiri aksinya di bundaran Taman Sari.
Anak Sulung Menerima Bea Siswa S2
Otto merasa sangat perihatin dengan kondisi bangsa akhir-akhir ini, di mana, menurutnya perbedaan yang dulu sangat dihargai, belakangan membuat satu kelompok dengan kelompok lain bertikai. “ Saya teramat sangat berharap, sudahilah semua keributan. Kita semua merupakan saudara,” ujarnya.
Rasa cintanya terhadap Indonesia memang begitu besar. Karena itu, Otto kerap bersuara lantang demi ketenangan masyarakat di Republik ini. Kendati dirinya berada di bumi Papua, ia menginginkan Indonesia tetap damai tanpa kegaduhan. Perbedaan pendapat adalah sah adanya, namun bukan berarti dihalalkan untuk memicu keributan.
Ada sisi menarik pada setiap aksi yang dilakukan Otto. Sebelum memulai demo tunggal, ia selalu memberitahukan ke Polres setempat. Baik di Manokwari maupun Salatiga, dirinya tertib mengikuti regulasi penyampaian pendapat. Dirinya berprinsip, bagaimana mungkin seseorang melancarkan protes sementara dirinya sendiri tak taat peraturan. Terkait hal itu, pantang baginya melanggar aturan yang sudah ditetapkan negara.
Kehidupan Otto di Kota Salatiga selama hampir 24 tahun, rupanya cenderung stagnan. Dengan pertimbangan anak-anaknya sudah mulai besar yang tentunya membutuhkan dana tidak sedikit untuk pendidikan, akhirnya tahun 2010 lalu, ia memboyong keluarganya pulang ke kampung halaman di Manokwari. “Istri yang di Salatiga berdagang sayuran, di Manokwari merintis membuka warung makan masakan Jawa,” ungkapnya.
![Otto saat masih narik becak di Salatiga (foto; dok surya)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/02/07/3-58998c7f14937354110c8466.jpg?t=o&v=770)