Sebuah rumah yang diduga merupakan bangunan cagar budaya (BCB) di lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jelok, Tuntang, Kabupaten Semarang belakangan diperjualbelikan. Tempat tinggal yang dibangun pada zaman pemerintahan kolonial Belanda tersebut, hanya ditawarkan sebesar Rp 250 juta.
Harga Rp 250 juta itu terbilang sangat murah. Pasalnya, tempat tinggal yang dulunya merupakan rumah dinas Kepala PLTA Jelok tersebut memiliki luas bangunan 250 meter persegi, mempunyai 3 kamar tidur, 2 kamar mandi, 2 kamar pembantu, ruang tamu yang luas seperti galibnya rumah-rumah bangsa Belanda tempo dulu, berpagar BRC dan luas tanah mencapai 1.500 meter persegi.
Berdasarkan penelusuran, Rabu (1/2) siang, bangunan tanpa menggunakan bata merah, semua memanfaatkan batu belah dan kusen-kusennya merupakan kayu jati nomor satu, rumah itu seharusnya termasuk BCB. Pasalnya, tempat kediaman tersebut dibangun bersamaan dengan berdirinya PLTA Jelok, yakni tahun 1938. Di mana, Algemeene Nederlandche Indische Electriciteit Maatscappij (ANIEM) selaku perusahaan pemasok listrik zaman pemerintahan kolonial Belanda, selain membangun PLTA juga melengkapi beberapa rumah dinas di lokasi yang sama.
Tenaga yang dihasilkan oleh dorongan air itu memang cukup dahsyat, pasalnya posisi air tingginya mencapai 144 meter. “Turbin yang dipakai buatan Werk Spoor Escher Wyss Holland type Francis poros datar yang mampu menggerakkan generator buatan AG Brown Hemaf Oerlikon dalam putaran 600 rpm,” kata Kisman seorang karyawan PT Indonesia Power yang sekarang mengelola PLTA Jelok.
Keberadaan PLTA Jelok pada zaman pemerintahan kolonial Belanda memegang peranan sangat vital. Di mana, dari lokasi yang relatif pelosok ini, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang hingga Kota Semarang memperoleh pasokan setrum. Kendati jatah rumah pribadi hanya dicatu sekitar 60 watt, namun, pada masa itu aliran listrik menjadi simbol status sosial masyarakat. Selain warga Eropa, juga golongan ningrat saja yang mampu menikmati listrik.
Pascakemerdekaan, pengelolaan PLTA Jelok diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia. Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang ditugaskan mengelola jaringan listrik, belakangan merasakan kapasitas PLTA Jelok sudah tidak memadai lagi. Terkait hal tersebut, tahun 1957 dibangun PLTA Timo yang berjarak sekitar 4 kilometer. Air yang sebelumnya dipakai menggerakkan turbin di Jelok, ditampung di Kolam Tandu. Selanjutnya melalui pipa berdiameter 3 meter dialirkan menuju PLTA Timo.
Dari PLTA Timo yang mempunyai tiga generator, mampu dihasilkan listrik sebesar 12 megawatt. Sebelum air dimanfaatkan menggerakkan turbin, di Kolam Tandu air tersebut juga digunakan sebagai tempat memelihara ikan yang setiap orang boleh memancingnya. Syaratnya, selain membayar juga wajib mematuhi berbagai tata tertib. Bila Hari Minggu atau hari libur, biasanya banyak warga yang memancing sembari melepas penat di sini.
Adapun rumah besar yang diduga dulunya dihuni oleh kepala PLTA, sekarang terlihat kosong melompong. Kaca-kacanya raib, bangunan yang didominasi bebatuan tersebut, menurut kabar sudah dibeli oleh warga Jerman. Padahal, rumah seluas hampir 250 meter persegi dan menempati lahan 1.500 meter persegi ini, semisal dirawat sangat eksotis. Posisinya yang berada di antara lembah, mengakibatkan pemandangan yang sangat luar biasa.