Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bangunan Cagar Budaya di PLTA Jelok Diperjualbelikan

1 Februari 2017   15:44 Diperbarui: 1 Februari 2017   19:25 3019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah bekas Kepala PLTA Jelok (foto: dok pri)

Sebuah rumah yang diduga merupakan bangunan cagar budaya (BCB) di lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jelok, Tuntang, Kabupaten Semarang belakangan diperjualbelikan. Tempat tinggal yang dibangun pada zaman pemerintahan kolonial Belanda tersebut, hanya ditawarkan sebesar Rp 250 juta.

Harga Rp 250 juta itu terbilang sangat murah. Pasalnya, tempat tinggal yang dulunya merupakan rumah dinas Kepala PLTA Jelok tersebut memiliki luas bangunan 250 meter persegi, mempunyai 3 kamar tidur, 2 kamar mandi, 2 kamar pembantu, ruang tamu yang luas seperti galibnya rumah-rumah bangsa Belanda tempo dulu, berpagar BRC dan luas tanah mencapai 1.500 meter persegi.

Berdasarkan penelusuran, Rabu (1/2) siang, bangunan tanpa menggunakan bata merah, semua memanfaatkan batu belah dan kusen-kusennya merupakan kayu jati nomor satu, rumah itu seharusnya termasuk BCB. Pasalnya, tempat kediaman tersebut dibangun bersamaan dengan berdirinya PLTA Jelok, yakni tahun 1938. Di mana, Algemeene Nederlandche Indische Electriciteit Maatscappij (ANIEM) selaku perusahaan pemasok listrik zaman pemerintahan kolonial Belanda, selain membangun PLTA juga melengkapi beberapa rumah dinas di lokasi yang sama.

Temboknya menggunakan batu kali (foto: dok pri)
Temboknya menggunakan batu kali (foto: dok pri)
ANIEM sendiri merupakan perusahaan asal Amterdam yang oleh pemerintahan kolonial diberi hak penuh mengelola listrik sejak tahun 1909. Dalam kondisi zaman yang serbasusah, ANIEM juga mempunyai wewenang membangun PLTA. Tahun 1938, dipilih lokasi Jelok untuk didirikan PLTA pertama di Indonesia. Memanfaatkan air yang melimpah dari danau alam Rawa Pening, di kawasan sungai Tuntang dibuat dam untuk mengalirkan air melalui pipa raksasa. Dengan dukungan dua pipa berdiameter sekitar 1,5 meter, tekanan air mampu menggerakkan turbin sehingga menghasilkan listrik sebesar 93 GWh per tahun.

Tenaga yang dihasilkan oleh dorongan air itu memang cukup dahsyat, pasalnya posisi air tingginya mencapai 144 meter. “Turbin yang dipakai buatan Werk Spoor Escher Wyss Holland type Francis poros datar yang mampu menggerakkan generator buatan AG Brown Hemaf Oerlikon dalam putaran 600 rpm,” kata Kisman seorang karyawan PT Indonesia Power yang sekarang mengelola PLTA Jelok.

Keberadaan PLTA Jelok pada zaman pemerintahan kolonial Belanda memegang peranan sangat vital. Di mana, dari lokasi yang relatif pelosok ini, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang hingga Kota Semarang memperoleh pasokan setrum. Kendati jatah rumah pribadi hanya dicatu sekitar 60 watt, namun, pada masa itu aliran listrik menjadi simbol status sosial masyarakat. Selain warga Eropa, juga golongan ningrat saja yang mampu menikmati listrik.

Air dialirkan melalui pipa raksasa ini (foto: dok pri)
Air dialirkan melalui pipa raksasa ini (foto: dok pri)
Harusnya Pemkab Semarang Membelinya

Pascakemerdekaan, pengelolaan PLTA Jelok diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia. Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang ditugaskan mengelola jaringan listrik, belakangan merasakan kapasitas PLTA Jelok sudah tidak memadai lagi. Terkait hal tersebut, tahun 1957 dibangun PLTA Timo yang berjarak sekitar 4 kilometer. Air yang sebelumnya dipakai menggerakkan turbin di Jelok, ditampung di Kolam Tandu. Selanjutnya melalui pipa berdiameter 3 meter dialirkan menuju PLTA Timo.

Dari PLTA Timo yang mempunyai tiga generator, mampu dihasilkan listrik sebesar 12 megawatt. Sebelum air dimanfaatkan menggerakkan turbin, di Kolam Tandu air tersebut juga digunakan sebagai tempat memelihara ikan yang setiap orang boleh memancingnya. Syaratnya, selain membayar juga wajib mematuhi berbagai tata tertib. Bila Hari Minggu atau hari libur, biasanya banyak warga yang memancing sembari melepas penat di sini.

Adapun rumah besar yang diduga dulunya dihuni oleh kepala PLTA, sekarang terlihat kosong melompong. Kaca-kacanya raib, bangunan yang didominasi bebatuan tersebut, menurut kabar sudah dibeli oleh warga Jerman. Padahal, rumah seluas hampir 250 meter persegi dan menempati lahan 1.500 meter persegi ini, semisal dirawat sangat eksotis. Posisinya yang berada di antara lembah, mengakibatkan pemandangan yang sangat luar biasa.

Lembah di antara PLTA Jelok (foto: dok pri)
Lembah di antara PLTA Jelok (foto: dok pri)
Sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, bangunan yang berusia minimal 50 tahun akan masuk kategori BCB. Padahal, bekas rumah dinas Kepala PLTA Jelok ini ditengarai dibangun tahun 1938 atau 79 tahun yang lalu. Dengan gaya arsitektur Eropa, serta berada di kawasan tertutup, maka sempurnalah kediaman ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun