Mbah Rumi (begitu biasa dipanggil), warga Dusun Banjaran Gunung RT RW , Desa Cukilan, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, tahun ini usianya sudah menginjak 100 tahun. Ironisnya, nenek yang dibelit kemiskinan tersebut, bertahan di rumah bobrok dalam kondisi lumpuh. Seperti apa deritanya, berikut catatannya.
Seperti galibnya anak perempuan tempo dulu, namanya singkat, Rumi tanpa embel- embel apa pun.Kendati dirinya merupakan warga asli Dusun Banjaran Gunung, namun, namanya tak tercatat di pemerintahan desa setempat. Artinya, bantuan apa pun rasanya mustahil ia dapatkan walau hidupnya sangat menderita.
Keberadaan mbah Rumi, diketahui oleh salah satu personil Relawan Lintas Komunitas (Relintas) Kota Salatiga. Hingga akhirnya, dilaporkan pada Bambang Setyawan selaku penanggungjawab komunitas sosial itu. " Data awal yang masuk menyebutkan, ada nenek berusia 125 tahun yang hidupnya sangat mengenaskan," kata Bambang Setyawan , Rabu (22/1).
Mendengar informasi itu, bersama sekitar 20 relawan lainnya, Bambang Setyawan yang biasa disapa Bamset, segera melakukan pengecekan ke desa yang berjarak sekitar 20 kilo meter dari Kota Salatiga tersebut. Hasilnya ? Di luar faktor usia, ternyata benar adanya. Kondisi nenek Rumi terlihat kurus dan mengalami kelumpuhan.
Sedangkan rumah yang dihuninya, duh...sangat memperihatinkan. Rumah berukuran 4 X 6 meter, berdinding anyaman bambu lapuk yang dilapisi plastik untuk menahan udara dingin agar tak menerobos ke dalam. Berlantai tanah, sedangkan bagian kuda- kudanya sudah disantap rayap. Bila tidak segera dibenahi, bisa- bisa ambruk terkena guyuran hujan.
Dulunya, mbah Rumi hidup sendiri di rumah yang lahannya menumpang salah satu keponakannya. Sehari- hari, ia mencari rejeki dengan cara membuat sapu lidi. Dua orang anaknya tinggal di Kota Semarang dan Palembang, otomatis setiap saat sang nenek didera kesendirian.
Hingga empat tahun silam, mbah Rumi mulai sakit- sakitan. Puncaknya, ia mengalami kelumpuhan yang memaksa putri sulungnya yang bernama Karni (56) pulang kampung untuk merawatnya. Karena kondisinya makin memburuk, Karni pun kelimpungan. Pasalnya, mulut ibunya sudah tak sanggup mengunyah nasi. " Saya memberinya makan bubur instan dan minum susu sachetan," ungkap Karni.
Rumah Akan Diperbaiki
Untuk menyambung hidup, Karni mulai belajar membuat keranjang ikan asin  berbahan bambu. Dalam sehari maksimal mampu dibuat 100 buah, dihargai Rp 12.000. Lantas dari mana duit buat membeli bubur instan, susu mau pun pampers ? " Kadang dibantu oleh warga sini, meski tak saban hari," jelasnya.