Akhirnya, Senin (19/8) Mardi (75) kakek duafa warga Dusun Krajan RT 01 RW 01, Desa Cukilan, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang mampu memiliki rumah layak huni. Selama dua hari, Relawan Lintas Komunitas (Relintas) Kota Salatiga bersama warga bahu membahu mewujutkan tempat tinggal untuk dirinya. Seperti apa keseruannya, berikut catatannya.
Mardi yang biasa disapa mbah Mardi, adalah sosok pria uzur yang hidup sendirian di rumah gubuk sangat minimalis. Berukuran sekitar 3 X 4 meter, berdinding bilahan bambu (galar), berlantai tanah, tanpa fasilitas MCK dan kondisi bangunan telah miring. Bila tak segera dibenahi, musim penghujan mendatang dipastikan roboh.
Akhir bulan Juli lalu, keberadaannya terdeteksi oleh relawan sehingga langsung ditindaklanjuti Bambang Setyawan selaku penanggungjawab Relintas Kota Salatiga. Kendati lokasi rumah yang ditempatinya berada di wilayah Kabupaten Semarang atau berjarak sekitar 15 kilo meter, namun, atas persetujuan seluruh relawan, akhirnya diputuskan untuk dilakukan bedah rumah.
Terkait hal tersebut, Bambang Setyawan (biasa disapa Bamset) segera membentuk tim kecil untuk melakukan koordinasi dengan Kepala Dusun (Kadus) Krajan sekaligus meminta ijin pemilik lahan. Hasilnya, warga setempat sepakat mendukung agenda bedah rumah ini. " Pembagian pekerjaan, hari pertama dikerjakan Relintas, hari kedua oleh warga," kata Bamset.
Setelah ada kesepakatan, akhirnya relawan segera menyiapkan segala kebutuhan material. Bahkan, warga yang enggan disebut namanya malah menyumbangkan dua pohon kelapa tua untuk mewujutkan rumah bagi mbah Mardi. Beruntung, terdapat relawan yang mampu menebang pohon sekaligus memotongnya menjadi kayu blandar (biasa disebut glugu).
Celakanya, posisi dua pohon kelapa tersebut berada di tengah kebun yang jauh dari pemukiman. Untuk menuju lokasi, tak ada akses apa pun, kecuali melewati pematang sawah. Karena memang sudah bulat tekadnya, maka penebangan pohon kelapa tetap dieksekusi. Mobil pick up yang bertugas mengangkut, terpaksa melalui areal persawahan yang mengering.
" Sayangnya, pick up juga tak bisa sampai lokasi karena terhalang pematang. Akibatnya, relawan kami harus melangsir satu persatu sejauh sekitar seratus meter, di tengah cuaca panas yang menyengat," jelas Bamset yang mengaku terpaksa ikut hadir karena tak tega membiarkan relawannya kerja keras di tengah panas matahari.
Ketika kayu- kayu mentah sudah berhasil diangkut, muncul masalah pengerajaan bahan menjadi tiang blandar mau pun kuda-kuda. Masalahnya, waktu sudah terlalu sempit dan banyak relawan harus ikut kegiatan di kampungnya jelang perayaan hari ulang tahun kemerdekaan RI ke 74. " Alhamdulillah, relawan mau nglembur di malam hari," tutur Bamset.