Sudarsih (42) warga Dusun Bawang RT 4 RW 5, Desa Tukang, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang hanyalah seorang perempuan yang tinggal di ujung dusun. Kendati begitu, keinginannya untuk memajukan masyarakat dalam hal pendidikan layak diapresiasi. Seperti apa kiprahnya, berikut penelusurannya.
Untuk menemui Sudarsih yang kesehariannya bekerja di SMP Negeri 3 Pabelan, dari Kota Salatiga harus menempuh perjalanan sekitar 15 kilometer. Kendati begitu, karena memang rumahnya berada di pelosok, perbatasan dengan Kecamatan Suruh, maka agak sulit menemukan kediamannya yang juga difungsikan menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Mitra Harapan.
Melalui jalan yang sempit, bahkan saat berpapasan dengan mobil pun salah satu harus mengalah, ditambah bertanya ke warga sedikitnya empat kali, akhirnya Selasa (18/12) siang, saya berhasil tiba di rumah Sudarsih. Kebetulan, dirinya sudah berada di rumah. Ia menyambut tamunya dengan ramah, seperti galibnya warga pedesaan.
Jauhnya lokasi dusun dengan akses pendidikan, 10 tahun yang lalu membuat angka putus sekolah sangat tinggi. Pasalnya, transportasi umum tak menjangkau wilayah ini. Satu- satunya angkutan umum yang tersedia hanyalah jenis mini bus atau station plat hitam. Jadualnya juga tidak menentu, kadang ditunggu satu jam belum juga kelihatan.
Di rumah sekaligus markas PKBM Mitra Harapan, puluhan peserta kejar paket A, B dan C terlihat sibuk belajar di rumah besar yang disulap menjadi tempat ajar mengajar.Â
Usia siswa didiknya bervariasi, mulai 15 tahun hingga 50 an tahun. " Untuk Kejar Paket A berlaku bagi siswa yang ingin mendapatkan ijasah kesetaraan tingkat SD, Kejar Paket B untuk SMP dan Kejar Paket C berlaku bagi siswa setara SMA," jelas Sudarsih.
Hal ini cukup aneh, PKBM Mitra Harapan tidak berlokasi di tempat yang strategis, bahkan di ujung perbatasan kecamatan yang relatif sepi. Namun, ternyata mampu menjadi magnete bagi pemburu asa di bidang pendidikan. " Promosi mau pun publikasi dilakukan oleh para alumni, tanpa kami minta. Dari mulut ke mulut, mereka mengabarkan kualitas PKBM Mitra Harapan," ungkap Sudarsih tanpa bermaksud jumawa.
Menurut Sudarsih, untuk seluruh kegiatan yang berlangsung di PKBM Mitra Harapan yang dikelolanya, nyaris seluruh siswa tak dipungut biaya. Hanya, untuk peserta kejar paket C, pihaknya menyediakan tempat khusus guna menampung infaq. Misal siswa ternyata tak mampu memberikan infaq pun, PKBM Mitra Harapan akan membebaskannya.
Karena tertarik dengan kiprah perempuan kelahiran 1 Juli 1976 ini, maka perbincangan semakin seru. Ada ketertarikan untuk menggali cikal bakal berdirinya PKBM Mitra Harapan yang dipimpinnya. " Wadoh ! Ceritanya panjang, tapi intinya berawal dari putus kuliahnya (drop out) saya di IKIP Semarang," tutur Sudarsih.
Tahun 1996, Sudarsih lulus MAN dan meneruskan kuliahnya di IKIP Kota Semarang. Sayang, baru satu tahun menyandang predikat sebagai mahasiswi, ekonomi orang tuanya tak memungkinkan membiayainya. Karena merasa terseok- seok untuk menutup biaya kos, transportasi mau pun uang kuliah, akhirnya ia mengambil cuti. " Saya ke Jakarta, dan bekerja di perusahaan swasta sebagai staf dengan gaji cukup lumayan," ungkapnya.
Merasa nyaman dalam mencari uang, Sudarsih enggan melanjutkan kuliahnya. Bahkan, tahun 1999 , temannya SD yang bernama Sudadi meminangnya. Di sinilah titik balik kehidupannya mulai memasuki lini pendidikan. Paska menikah, dirinya pulang kampung dan sempat bekerja di pabrik rokok. "Karena tidak betah, saya banting stir menjadi pedagang di Pasar Wates," tuturnya.
Karena sepulang bekerja tak memiliki kegiatan, akhirnya Sudarsih mulai aktif di PKK di desanya. Hingga tahun 2008, ada program pengentasan buta aksara yang memasuki desa Tukang. Dengan iming- iming bayaran Rp 150.000, dirinya menyigi kampungnya untuk mencari 20 peserta program tersebut. " Hal ini berlanjut dengan adanya program kejar paket A dengan syarat peserta juga 20 orang," jelas Sudarsih.