Memasuki musim hujan ini, akhirnya Surip (75) warga Pendem RT 04 RW 3, Ledok, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga bisa bernafas lega. Atap rumahnya yang tiap diguyur hujan bocor semua, telah diperbaiki oleh para relawan Lentera Kasih untuk Sesama (Lensa).Â
Seperti apa nestapa yang mendera perempuan duafa sekaligus tuna netra tersebut? Berikut penelusurannya, Senin (19/11) sore.
Namanya sangat singkat, yakni Surip tanpa embel- embel apa pun. Sejak lahir, perempuan yang biasa disapa dengan panggilan mbah Surip itu sudah menyandang status sebagai tuna netra. Warna warni isi dunia, baginya sama saja, gelap gulita. Sepeninggal ibunya sekitar 5 tahun lalu, dirinya hidup sendirian di rumah berukuran 3 X 3 meter.
" Rumah ini yang membangunkan pak Ketua RT bersama warga sini, dulu hanya satu kamar saja. Kemudian diperluas menjadi ukuran 3 X 3 meter," ungkap mbah Surip saat saya temui di rumah mungilnya.
Menempati rumah minimalis yang berdiri di atas lahan milik TNI AD, status mbah Surip hanya menumpang hidup. Selain ke gereja, dirinya tak pernah keluar rumah sekedar ngrumpi ke tetangga. Baginya, lebih baik mengeram diri di rumah dibanding harus ngobrol yang tiada jelas juntrungnya. "Apa lagi untuk berjalan saja kan repot banget," kata mbah Surip yang buta huruf.
Menurut mbah Surip, sebelum menempati rumah mungil tersebut, puluhan tahun yang lalu, ia tinggal di rumah almarhum orang tuanya. Sayang, warisan itu dijual saudaranya sehingga dirinya pun terlunta- lunta. "Saya saat itu tidurnya di kebun orang, di bawah pohon kelapa. Kalau hujan berteduh di teras orang, kalau sudah reda kembali gelar tikar," ungkapnya.
Seperti galibnya orang yang tinggal di satu rumah, mbah Surip juga rajin membersihkan ruang dalam. Kendati dua matanya tak mampu melihat, namun kondisi rumahnya terlihat bersih. Begitu pun dengan memasak, Â dirinya kadang kepingin masak nasi atau sayur. Menggunakan tungku kayu, cara menghidupkan api pun sekenanya. Hasilnya ? Lebih kerap gosongnya dibandingkan tidaknya.
Perihal kesendiriannya, hidup tanpa kerabat satu pun, mbah Surip yang sepanjang hidupnya belum pernah menikah ini mengaku, belakangan ia memiliki banyak saudara. Yang dimaksud saudara adalah para relawan yang sering datang mengunjunginya, mereka semua dianggapnya sebagai saudara yang memiliki empati terhadap dirinya.
Ada pengalaman mengesankan saat mbah Surip saban hari tidur di bawah pohon kelapa, di mana, sudah menjadi hal yang lumrah bila pelepah daun kelapa kering sering berjatuhan. Begitu pula dengan buahnya yang mongering, kadang jatuh tanpa mengenal waktu.Â