Jumadi (78) warga Dusun Krajan RT 10 RW 1, Desa Polosiri, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang sepertinya memiliki nestapa yang lengkap. Di mana, selain duafa, hidup sendirian dalam rumah yang mungil, dua matanya juga mengalami kebutaan. Seperti apa derita lelaki yang tak pernah menikah seumur hidupnya tersebut, berikut catatannya.
Selama dua hari berturut- turut, saya menyambangi rumah Jumadi yang biasa disapa dengan panggilan mbah Jumadi ini. Berawal dari laporan personil Relawan Lintas Komunitas (Relintas) yang menyebutkan bahwa mereka menemukan keberadaan lelaki gaek yang sarat penderitaan. Karena datanya relatif belum matang, maka Rabu (14/11) dan Kamis (15/11) saya merunutnya.
Setelah bertanya pada beberapa warga, akhirnya terlihat rumah sederhana berukuran 2 X 2 meter yang terletak di pinggir saluran irigasi. Kebetulan, mbah Jumadi berada di rumahnya. Ia terlihat duduk dengan kaki ditekuk sembari berupaya melinting tembakau.
Tubuh mbah Jumadi nampak sangat renta, kulit coklatnya membalut sedikit daging. Ia seperti kurang asupan gizi, sehingga terlihat kurus. Ketika saya sodorkan satu tas plastik berisi kue kering, spontan tangannya menyambar. "Kebetulan, perutku lagi lapar. Sudah dua hari tidak makan," tuturnya dalam bahasa Jawa.
Di rumahnya terdapat bale (ranjang) kayu, kendati begitu, mbah Jumadi memilih tidur di atas tumpukan pasir yang bagian atasnya diberi alas lembaran kain kumal. Sementara di atas bale , terdapat tumpukan barang- barang bekas terbuat dari plastik. Sepertinya, itulah harta satu- satunya yang dimilikinya sehingga sangat diproteksi.
Mbah Jumadi hidup seorang diri, sebenarnya beliau memiliki adik kandung bernama Giyem (75) yang tinggal agak jauh dari rumahnya. Dulu Giyem kerap mengirimi catu makanan, namun, belakangan setelah sang adik mulai uzur, jarang kelihatan lagi. Pasalnya, mereka tinggal beda dusun, sehingga Giyem tak mampu berjalan kaki hanya sekedar membantu makan kakak kandungnya.
Karena hidup sendirian tanpa fasilitas apa pun, maka , penampilan mbah jumadi sepintas mirip orang kurang waras. Pakaiannya tak pernah ganti, tubuhnya juga sangat jarang mandi sehingga aromanya lumayan sedap. Ketika disinggung soal kebersihan, dirinya menjawab singkat. "Ngene wae wis enak (begini saja sudah enak)," tukasnya.
Dalam perbincangan, mbah Jumadi dua kali saya tawarkan untuk tinggal di panti jompo. Sayang, karena faktor minimnya pengetahuan yang dimiliki, lelaki buta guruf itu malah bertanya panti jompo itu apa? Terus di sana mau diapakan? Di sana boleh keluyuran atau tidak? "Kalau tak boleh dolan (keluyuran) ya tidak usah saja," ungkap mbah Jumadi.
Saat saya tanyakan KTP mau pun KK, mbah Jumadi mengaku tidak memilikinya. Menurutnya, dulu pernah akan mengurus, tapi ada pihak tertentu yang menjawab bahwa dirinya tak perlu KTP karena matanya buta dan dipastikan kurang membutuhkannya. "Ya sudah, sejak saat itu aku malas mengurusnya," jelasnya.
Lengkap sudah derita mbah Jumadi, cacat permanen, duafa abadi dan tak memiliki selembar dokumen pun. Ia seperti menjadi anak tiri di negeri sendiri, segala bantuan dari pemerintah, tak mungkin menjangkaunya. Karena salah satu syarat menerima bantuan harus mempunyai e-KTP serta KK. Satu- satunya bantuan yang diterimanya hanya sebatas bantuan warga, termasuk rumah yang ditempatinya.
Menurut Sumarlan, kendati saban hari dijatah makan oleh warga, namun mbah Jumadi yang memiliki kepribadian unik, kerap marah- marah tanpa sebab. Dari mulai sayur yang terlalu pedas, lauk yang tak enak dimakan hingga hal remeh temeh lainnya. "Akhirnya warga jengkel, pada malas memberi jatah makan," kata Sumarlan.