Widi Utami (26) ibu muda warga Klampeyan RT 01 RW 03, Noborejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, adalah sosok cerdas dan tangguh. Perempuan penyandang tuna rungu tersebut merupakan seorang blogger sekaligus Kompasianer yang menempuh pendidikan di sekolah umum. Seperti apa perjuangannya dalam meraih kehidupannya, berikut catatannya.
Sebagai sesama Kompasianer, saya mengenal Widi sebatas dirinya adalah seorang penulis yang produktif. Kendati sama- sama tinggal di Kota Salatiga, interaksi di antara kami dilakukan melalui dunia maya. Hingga akhirnya, Senin (5/11) sore, Â secara tak sengaja saya mampir ke rumah Bekti Umiyati yang ternyata merupakan kakak kandungnya.
"Widi adik kandung saya yang paling bungsu," kata Bekti sembari memanggil Widi yang rumahnya berdekatan.
Seperti galibnya dua sahabat yang bertemu, kami langsung berjabatan erat seraya mengobrol. Nah, baru beberapa kalimat, saya tertegun dan penuh tanya. Kenapa setiap saya berbicara tanpa bertatap muka, Widi sepertinya kebingungan.
Baru setelah kakaknya memberitahu bahwa Widi sejak bayi tuna rungu, saya jadi mafhum adanya. "Widi harus melihat gerak bibir lawan bicaranya," jelas Bekti.
Sungguh tak menyangka, perempuan cerdas yang di dunia maya sangat komunikatif ini, ternyata tidak sedari bayi tidak bisa mendengar apa pun.
Saya pun semakin mengapresiasi keberadaannya, sebab, sebelumnya saya hanya berinteraksi tanpa bertatap muka.
Tertarik dengan sosok Widi, akhirnya saya berupaya menggali lebih detail tentang dirinya. Hasilnya, perjuangan perempuan kelahiran tanggal 15 Febuari 1992 sangat luar biasa.
Bagaimana tidak? Ia yang tuna rungu, menolak bersekolah di SDLB (Sekolah dasar Luar Biasa), dia memilihi menempuh pendidikan di SD umum tanpa menggunakan alat bantu dengar (ABD).
"ABD tak membantu Widi, jadi dirinya secara  otodidak belajar berkomunikasi  sendiri," ungkap Bekti.