Siapa pun tahu bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jelok, Desa Delik, Tuntang, Kabupaten Semarang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Kendati begitu, tak banyak yang mengerti bahwa banyak bangunan cagar budaya yang berserakahan di areal tersebut. Karena lokasi ini bakal dikemas menjadi wisata tempo dulu, maka siang ini saya menelusurinya.
Untuk menuju PLTA Jelok dari Kota Salatiga, memerlukan waktu sekitar 30 menit perjalanan. Namun karena melewati berbagai  pemandangan eksotis,maka jarak tempuh tak terasa jauh. Setelah tiba di wilayah kecamatan Bringin, tepatnya di pertigaan Karang Lo, langsung belok kiri sedikit terus ambil kanan. Lurus tanpa berbelok, akhirnya tiba di pabrik stroom yang berada di bawah lembah nan hijau.
Keberadaan PLTA Jelok  yang memanfaatkan air dari Rawa Pening ini, dibangun oleh Algeemen Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) alias pengelola listrik di zaman itu. Di mana, ANIEM sendiri merupakan perusahaan asal Amterdam yang oleh pemerintahan kolonial diberi hak penuh mengelola listrik sejak tahun 1909.
Dalam kondisi zaman yang serba susah, ANIEM sebelumnya telah membangun PLTA di Susukan (masuk wilayah Desa Delik juga). Entah apa penyebabnya, belakangan di tahun 1938 kembali dibangun PLTA yang terletak di Dusun Jelok yang sampai sekarang masih berdiri kokoh dan dikelola oleh PT Indonesia Power.
Dengan memanfaatkan air yang melimpah dari danau alam Rawa Pening, di kawasan sungai Tuntang dibuat dam untuk mengalirkan air melalui pipa raksasa. Didukung dua pipa berdiameter sekitar 2,5 meter, tekanan air mampu menggerakkan turbin sehingga menghasilkan listrik sebesar 93 GWh per tahun. Tenaga yang dihasilkan oleh dorongan air itu memang cukup dahsyat, pasalnya posisi air tingginya mencapai 144 meter.
Turbin yang dipakai buatan Werk Spoor Escher Wyss Holland type Francis poros datar yang mampu menggerakkan generator buatan AG Brown Hemaf Oerlikon dalam putaran 600 rpm. Zaman pemerintahan kolonial Belanda, listrik yang dihasilkan mampu menerangi Kota Salatiga dan sekitarnya. Meski rumah-rumah tertentu hanya dicatu 60 watt, namun, saat itu telah terlihat terang benderang.
Hal yang membuat orang berdecak kagum, yakni bangunan- bangunan di PLTA Jelok masih sangat kokoh kendati berusia mendekati satu abad. Mungkin, di zaman Kompeni berkuasa, pengawasan terhadap proyek sangat keras. Berani korupsi, alamat dibedhil tanpa melalui proses pengadilan. Dampaknya, beragam bangunan selalu kokoh tak tergerus zaman.
Wisata Cagar Budaya