Saat masih ada pihak- pihak bertikai masalah toleransi mau pun pluralisme, maka, para relawan di Kota Salatiga mau pun Kabupaten Semarang lebih mengedepankan sisi kemanusiaan serta mengabaikan segala perbedaan yang ada. Seperti apa implementasi di lapangan orang- orang tangguh tersebut, berikut catatannya.
Kota Salatiga tahun kemarin kembali dinobatkan menjadi Kota Paling Toleran oleh Setara Institute dengan skor 5,90. Artinya, kota kecil ini memiliki skor yang sama bersanding Manado, Pematang Siantar, Singkawang dan Tual. Sementara lima kota lainnya memiliki skor lebih rendah. Terkait hal tersebut, sepertinya ada  sisi menarik sepak terjang para relawan layak untuk dikupas.
Selain komunitas Lentera Kasih untuk Sesama (Lensa), di Salatiga dan Kabupaten Semarang terdapat beberapa komunitas sosial. Di sini, mereka kerap berkolaborasi dalam berbagai aksi sosial seperti pembagian nasi bungkus, bagi sembako , bedah rumah hingga evakuasi dhuafa yang menderita sakit parah. Untuk yang terakhir, kadang sangat menyita pikiran, waktu mau pun tenaga. Nah, di sinilah apa yang disebut toleransi mulai terlihat nyata.
![Keberagaman dalam berbagi nasi bungkus (foto: dok pri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/21/3-5ab222f2cf01b4521c08b495.jpg?t=o&v=770)
Dalam menyasar dhuafa, lanjut Atha, relawan Lensa mempunyai tim survei yang bergerak untuk berburu orang- orang yang membutuhkan bantuan. Setelah terdata, selanjutnya dilaporkan pengurus guna ditentukan bantuan apa yang tepat bagi sasaran tersebut. " Nah, tim survei dalam menjajaki target, tidak pernah menanyakan perihal agama ," ungkap Atha.
Begitu pun ketika sasaran dieksekusi, menurut Atha, para relawan dengan beragam latar belakang agama, berbaur menjadi satu. Tak ada perbedaan, mereka membaur tanpa memikirkan status sosial masing- masing. Tujuannya hanya satu, pekerjaan segera tuntas dan kembali menuntaskan yang lainnya. " Ibaratnya, kami pantang pulang sebelum senyum dhuafa mengembang," jelasnya.
Apa yang diungkapkan Atha, memang benar adanya. Selama berbulan -- bulan mengikuti sepak terjang relawan Lensa, yang namanya toleransi mau pun pluralisme selalu dinomor satukan. Bahkan, ketika menggelar pembagian sembako di berbagai pelosok pedesaan Kabupaten Semarang, mayoritas sasaran adalah orang- orang beragama Islam. Sementara, tak sedikit relawan yang non muslim ikut dalam rombongan.
Sebaliknya, para relawan muslim sendiri, dalam segala aktifitasnya juga mengabaikan perbedaan beragama. Hal itu terlihat pada pembagian nasi bungkus saban Jumat pagi, ibu- ibu muda berhijab, berbaur dengan relawan non muslim lainnya. Saat berada di lapangan, mereka membagikan nasi bungkus ke sasaran yang memiliki beragam agama. Keren memang.
![Kartini memotong kuku kaki dhuafa (foto: dok pri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/21/4-5ab2233dcbe5235c113bdb32.jpg?t=o&v=770)
Salah seorang relawan yang tak pernah ketinggalan beraksi di lapangan adalah Kartini Riko (35), perempuan berpostur gagah ini, merupakan pemeluk Katholik yang taat. Bahkan, dirinya aktif dalam pelayanan gereja. Kendati begitu, dirinya tak risi memotong kuku janda uzur yang hidup sendirian. Bukan hanya kuku di jari tangan, namun juga di jari kaki. " Berbagi itu dengan hati, bukan dengan mengedepankan hal- hal berbau SARA," ungkap Kartini serius.
Begitu pun ketika Lensa menggelar bedah rumah milik dhuafa, Kartini yang nota bene seorang ibu yang tentunya lekat dengan naluri keibuannya, tanpa ragu ikut mengaduk semen dan mengangkati bebatuan untuk fondasi. Bersama relawan perempuan lainnya, ia bahu membahu menuntaskan proyek bedah rumah yang dibiayai donatur.