Afifatul Aliyah (12) gadis cilik berparas cantik warga  Dusun Plaosan RT 05 RW 09,Desa Dadapayam, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang  layak diapresiasi. Kendati sudah kehilangan tangan dan kaki kirinya akibat terkena setrum kabel listrik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN), namun, dirinya tetap antusias meneruskan sekolahnya. Seperti apa  cerita pilu anak petani ini ? Berikut kisahnya.
Afi, demikian biasa disapa, adalah anak bungsu pasangan Parjan (48) dan Damiah (47) yang bekerja di perkebunan kopi di Sumatera. Karena faktor ekonomi, bocah cantik tersebut ditinggal di desanya, ia hanya ditemani kakak perempuannya yang bernama Emi (16). Tentunya, pengawasan sang kakak terhadap segala polah adiknya kurang maksimal. Maklum, ia juga masih bersekolah. Sedangkan Afi, duduk di bangku kelas III Madrasah Ibtidaiyah (MI).
Sebelum kejadian, Afi yang baru saja pulang sekolah, berjalan kaki dengan  Masitoh (8). Hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya, terdapat pohon kersen (bahasa Jawa disebut Talok) yang tengah berbuah. Dasar anak- anak, mereka tertarik untuk mengambil buahnya yang berasa agak manis tersebut. " Afi dan Masitoh memanjat pohon yang tidak begitu tinggi itu," kata Damiah.
Karena posisi buah banyak yang berada di bagian pucuk, Afi belakangan mengambil batang almunium sepanjang sekitar 1, 5 meteran. Kebetulan di dekat lokasi terdapat home industri pembuatan perabot berbahan baku almunium. Sembari terus memanjat, tangan mungilnya berupaya meraih buah kecil- kecil yang tak laku dijual itu. Langkahnya ini, merupakan awal petaka bagi dirinya. Sayang, bahaya besar yang tengah mengintainya tidak disadari.
Tepat di atas pohon kersen, tertutup dedauan, sebenarnya terdapat kabel listrik tegangan tinggi. Kendati begitu, Afi mau pun Masitoh tak menyadari adanya maut yang siap menyergapnya. Afi tetap berupaya meraih buah kersen, akibatnya fatal. Ujung almunium ternyata menyentuh kabel bermuatan setrum. Dan, tubuh kecil itu langsung tersengat hingga pingsan di atas pohon. Begitu pun Masitoh, dirinya yang ikut tersengat ikut tidak sadarkan diri.
Duh, sungguh mengenaskan kondisi bocah cantik itu. Tubuhnya nyaris terpanggang, khususnya di bagian tangan kiri dan dua kakinya. Sementara Masitoh lebih beruntung, kendati ikut pingsan, namun tak mengalami luka berarti. Warga yang mengetahui keberadaan dua anak ini, berupaya mengevekuasinya setelah aliran listrik mati.
Setelah berhasil diturunkan dari pohon kersen, Afi langsung dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Salatiga untuk mendapatkan pertolongan medis. Sayang, minimnya peralatan di tempat itu, membuat pihak dokter merujuknya ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Karyadi Kota Semarang. Emi bersama kerabat lainnya yang mendampingi sang adik, dipaksa lintang pukang mengurusinya.
Sungguh celaka, di RSUP Karyadi ternyata ruang isolasi luka bakar dalam kondisi penuh. Akhirnya, untuk menyelamatkan nyawa Afi, ia dilarikan ke salah satu Rumah Sakit swasta di Kota Semarang. Sembari menunggu orang tuanya tiba dari Sumatera, Afi diperam di ruang isolasi. " Karena lukanya sangat parah, akhirnya tangan kirinya diamputasi dan menelan biaya sebesar Rp 21 juta," tutur Damiah.
Tagihan Rp 21 juta bukanlah angka yang kecil bagi pasangan Parjan dan Damiah, pasalnya, di Sumatera mereka hanya buruh pemetik kopi. Dengan cara meminjam ke beberapa kerabatnya, akhirnya seluruh tagihan mampu dilunasi. Atas saran pihak RS swasta tersebut, Afi dirujuk ke RSUP Karyadi dengan menggunakan fasilitas Jamkesda. " Berbeda dengan BPJS sekarang, Jamkesda hanya menjamin biaya pengobatan sebesar 50 persen dari total tagihan," ungkap Damiah.
Sepertinya belum lengkap penderitaan Afi meski sudah menjalani operasi empat kali, sebab, ibu jari kaki kanannya ternyata juga mengalami infeksi. Untuk itu, dokter terpaksa harus mengamputasinya juga. Karena taka da pilihan lain, akhirnya Afi diboyong ke meja operasi. Selama menjalani perawatan di RSUP Karyadi, keluarga ini wajib membayar biaya sebesar Rp 28 juta dari total Rp 56 juta.
Dalam kondisi seperti ini, bisa dibayangkan betapa kalutnya Parjan mau pun Damiah. Dengan penghasilan yang pas- pasan, dalam sekejab diharuskan membayar operasi pertama Rp 21 juta, ditambah yang terakhir Rp 26 juta. Untungnya, dalam situasi genting tersebut, banyak donatur yang bersedia membantunya, termasuk Bupati Semarang dr Munjirin.
Kendati sempat pontang panting, namun kewajiban memberesi administrasi keuangan di RSUP Karyadi akhirnya beres setelah banyak pihak yang ikut membantunya. Apakah pihak PLN juga membantu pendanaan ? " Setahu saya PLN tidak membantu apa pun," jelas Damiah. Mungkin perusahaan setrum itu berpendapat, kejadian naas merupakan kesalahan Afi sendiri, sehingga merasa tidak perlu cawe- cawe.
Hingga urusan dengan masalah keuangan sudah beres, belakangan timbul persoalan baru. Paska kepulangan Afi ke rumahnya, ia mengalami depresi berat. Dirinya menolak untuk sekolah, juga tak mau ada orang menjenguknya berlama lama di rumahnya. " Cukup lama Afi mengalami hal itu, sampai akhirnya mami There datang kerumah untuk membujuknya," tutur Damiah.
Yang dimaksud mami There, adalah Theresia Retno Widayatsih (57), seorang guru sekaligus relawan sosial asal Kota Salatiga. Theresia yang pernah kehilangan anak gadisnya akibat serangan kanker, merasa perlu berulangkali mengunjungi Afi. Ia berupaya membangkitkan mental anak malang ini. " Saya berjanji akan membantunya sekolah setinggi mungkin, agar kelak mampu bermanfaat bagi orang lain," kata Theresia di rumah Afi.
Agar Afi merasa memiliki kesetaraan, Theresia sering mengajak Afi plesiran bersama komunitas difabel Kota Salatiga. Dengan berinteraksi bersama anak- anak berkebutuhan khusus, diharapkan Afi lebih percaya diri. Saban ada acara wisata, dirinya selalu diajak oleh maminya.
Sekarang, Afi telah duduk di kelas VII bangku SMP Negeri II Suruh, Kabupaten Semarang. Untuk berangkat menuju sekolahnya yang berjarak sekitar 2 kilometer, dirinya selalu dijemput sahabatnya Masitoh yang kebetulan bersekolah di tempat yang sama. Sementara aktifitas selepas jam sekolah, Afi melakukannya seperti layaknya anak remaja lainnya. Ia juga menyetrika pakaiannya sendiri, kadang mencuci pakaiannya sendiri. " Atas kemauannya sendiri, Afi melakukan segala sesuatu tanpa bantuan saya," tutur Damiah.
Afi memang sudah menerima takdir atas dirinya, ia tak pernah mengeluh paska kaki, tangan kiri dan ibu jari kaki kanannya dirampas pisau bedah. Keinginannya bersekolah setinggi mungkin, sehingga mampu membantu orang lain yang membutuhkan. Hal itu bukan sesuatu yang mustahil, pasalnya bila di desanya belum dibangun sekolah lanjutan tingkat atas (SMK/SMA), Theresia menyatakan siap membawa Afi ke Kota Salatiga.
Itulah kita pilu Afi, remaja cantik yang di usia dini sudah kehilangan beberapa organ tubuhnya. Sehingga, segala kelincahannya terampas paksa. Meski begitu, dia menolak kehilangan semangat hidup serta belajarnya. Â Dengan dukungan ekonomi orang tuanya yang pas- pasan, Afi berniat terus bersekolah. Terus semangat ya nak, sekarang banyak orang yang mencintaimu. Raih cita- citamu , kami semua mendukungmu. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H