Tugu batas Kotamadya Salatiga yang dulunya merupakan salah satu legitimasi wilayah, ternyata kondisinya sangat menyedihkan. Bangunan tembok yang menjadi pintu masuk tersebut, setelah terjadi pemekaran terabaikan bahkan sebagian besar  telah raib ditelan jaman.
Bangunan- bangunan setinggi sekitar 2,5 meter yang terbuat dari batu bata diplester dan memiliki ciri khas tiga buah batu di atasnya ini, sebenarnya dibuat di delapan pintu masuk. Sayangnya, saat ini hanya tersisa satu titik, yakni di Jalan Hasanudin, kondisinya sangat menyedihkan. Sementara enam tugu lainnya lenyap, satu di antaranya yang terletak di Jalan Soekarno- Hatta telah direnovasi.
Bentuknya sangat sederhana, mungkin waktu itu menyesuaikan dengan cekaknya anggaran yang dimiliki pemerintahan Kotamadya Salatiga. Di mana, selain dari arah memasuki wilayah Salatiga terdapat tulisan Kotamadya Salatiga, arah sebaliknya hanya bertuliskan Selamat Djalan (ejaan lama). Sedangkan di sekelilingnya dipenuhi belukar sehingga semakin memperlihatkan kekumuhannya.
Tugu yang tersisa di jalan raya menuju arah Kopeng, bukan hanya pihak pemerintah kota (Pemkot) Salatiga saja yang mengabaikan, masyarakat sendiri banyak yang tak paham atas keberadaannya. Bila menjelang hari ulang tahun kemerdekaan RI nyaris semua gapura kampung saja didandani, tugu ini sama sekali tidak tersentuh sapuan kuas cat. Akibatnya, selain tampak kumuh juga sangat kusam.
Tak ada literatur  yang mampu menjelaskan kapan tugu batas kota itu dibangun, hanya warga mengingat tahun 50 an bangunan- bangunan berornamen bebatuan sudah ada. " Saat saya masih berumur sepuluh tahunan, sering melewati tugu itu ketika pergi ke Getasan," kata Jumadi (65) warga Kalioso, Kutowinangun, Tingkir, Kota Salatiga.
Artinya, bila Jumadi sekarang berusia 65 tahun dan saat berusia 10 tahun telah melihat keberadaan tugu batas kota, maka bangunan sederhana itu sebenarnya layak masuk cagar budaya karena usianya di atas 50 tahun. Namun, entah kenapa selain diabaikan, juga banyak yang sudah raib akibat digerus jaman.
Bila melongok sejarah masa lalu, harusnya tugu yang tersisa sudah selayaknya mendapat perhatian. Garis "demarkasi" yang dibuat oleh pemerintah dengan desain seperti galibnya bangunan jaman pemerintahan kolonial Belanda ini, sepertinya telah tidak dianggap. " Ya harusnya Pemkot Salatiga , dalam hal ini dinas terkait nguri- nguri (merawat) tugu yang tersisa," ungkap Jumadi perihatin.
Rasanya tak lengkap membahas tugu batas kota tanpa mengupas keberadaan sejarah Salatiga yang di jaman Belanda dikenal sebagai Salatiga Dea Schoonnste Staad Van Midden Java atau Salatiga kota paling indah di Jawa Tengah. Di mana, di tahun 1917 pemerintah Hindia Belanda menetapkannya menjadi de gementee Salatiga  (Kotapraja Salatiga).
Melalui staadsbald atau lembaran negara bernomor 266 tahun 1917, berdasarkan animo masyarakat kulit putih yang lebih memilih Salatiga menjadi tempat tinggal dibandingkan daerah lainnya. Udara yang sejuk, keraifan lokal masyarakatnya hingga luas wilayah yang hanya 8 desa merupakan pertimbangan tersendiri untuk nyaman hidup di Salatiga. Sementara daerah di sekitarnya yang masuk wilayah Kabupaten Semarang terdiri atas perkebunan berbagai komoditi hasil bumi.